Rabu, 25 November 2009

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

ALIRAN-ALIRAN

DALAM FILSAFAT HUKUM

A. PENDAHULUAN

Pembahasan tentang aliran-aliran dalam filsafat hukum merupakan inti dari pembahasan filsafat hukum. Dengan mengetahui pokok-pokok aliran tersebut, sekaligus juga dapat diamati berbagai corak tentang pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, sadarlah kita betapa kompleksnya hukum itu dengan berbagai sudut pandangnya. Hukum dapat diartikan macam-macam, demikian juga tujuan hukum. Setiap aliran berangkat dari argumentasinya sendiri. Akhirnya, pemahaman terhadap aliran-aliran tersebut akan membuat wawasan kita makin kaya dan terbuka dalam memandang hukum dan masalah-masalahnya.

Dipaparkannya aliran-aliran filsafat hukum ini juga tidak sekedar merupakan “napak tilas” perjalanan pemikiran para ahli tersebut. Dengan mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut kita akan mendapat banyak masukan yang memungkinkan untuk menghargai pendapat orang lain. Sudah menjadi tradisi ilmiah bahwa suatu pemikiran pada saat tertentu akan terasa tidak sesuai lagi dengan zamannya, dan segera disangkal oleh pemikir berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang berharga untuk dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti, kembali tampil ke depan dengan bentuk baru.

B. ALIRAN HUKUM ALAM

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksisitensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari pada hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.

Menurut aliran hukum alam, kaidah hukum adalah hasil dari titah tuhan dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi. Sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Hukum tersebut tidak dapat dihapuskan oleh perwakilan bahkan raja sekalipun.

Meskipun demikian aliran hukum alam ini sering bertentangan dalam berpendapat, oleh karenanya ada dua golongan aliran hukum alam. Pertama aliran hukum alam irasional, Kedua aliran hukum alam rasional. Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Sebaliknya aliran hukum alam rasional berpendapat, bahwa hukum yang universal berasal dari rasio manusia.

Pendukung aliran hukum alam irasioanal antara lain adalah: Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe. Tokoh-tokoh aliran hukum alam rasional antara lain adalah: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, Samuel von Pofendrof.

Menurut Friedman, hukum alam itu mempunyai fungsi jamak, yakni:

  1. Sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi kesuatu sistem yang luas dan cosmopolitan.
  2. Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara Gereja pada abad pertengahan dan para kaisar Jerman.
  3. sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional, dan menuntut kebebasan individu dari absolutisme.
  4. prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan konstitusi) guna menentang usaha peundang-undangan Negara untuk memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi.

1. HUKUM ALAM RASIONAL

Thomas Aquinas (1225 - 1274)

Filsafat Thomas aquinus berkaitan erat dengan teologia, ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama, yaitu: pertama, pengetahuan alamiah (berpangkal pada akal), kedua, pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi).

Berbicara mengenai hukum, Aquinas mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Aquinas pun membagi hukum kedalam 4 (empat) golongan:

  1. Lex Aeterna: merupakan rasio tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera.
  2. Lex Divina: bagian dari rasio tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
  3. Lex Naturalis: inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia.
  4. Lex Positivis: hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum oleh alam manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.

John Salisbury (1115 – 1180)

Salisbury adalah seorang rohaniawan pada abad pertenganhan. Ia banyak mengkeritik kesewenangan penguasa waktu itu. Menurutnya, Gereja dan Negara perlu bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.

Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah

Menurut Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan sebaik-baiknya. Salisbury juga melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerjasama dari semua unsur, suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.

Dante Alighieri (1265 - 1321)

Seperti halnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante sebagian besar merupakan tanggapan terhadap situasi yang kacau-balau pada masa itu.

Baik Jerman maupun Perancis pada abad pertengahan, menghadapi perselisihan dengan kekuasaan paus di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan pada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolute.

Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarki mondial. Monarki dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu dengan penguasa yang lainnya. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan. Menurut Dante, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarki dunia ini adalah kekaisaran Romawi. Hanya saja, pada abad pertengahan sudah digantikan oleh kekuasaan Jerman dan kemudian oleh Perancis, Eropa.

Piere Dubois (lahir 1255)

Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Perancis kedudukannya sebagai pengacara raja Perancis pada masa itu selaras dengan pandangan-pandangannya yang pro penguasa.

Sama seperti Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat menerima kekuasaan dari tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan dunia Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya oleh raja.

Menurut schmid, dalam beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian. Misalnya, ia mengusulkan agar hubungan Negara-negara (di bawah kekuasaan Perancis) diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita pada badan PBB sekarang. Ia juga menyatakan, bahwa raja pun memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, tetapi raja tidak terkait untuk mematuhinya.

Marsilius Padua (1270 - 1340) dan William Occam (1280 - 1317)

Pemikiran Padua seringkali diuraikan bersama-sama dengan pemikiaran William Occam, mengingat keduanya banyak persamaannya. J.J. von Schmid menyebutkan, kedua orang ini merupakan tokoh penting abad ke 14, sama-sama dari Ordo Fransiscan. Karena pertentangannya terhadap Gererja, kedua orang ini juga sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh Paus.

Padua berpendapat bahwa Negara berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Pendapatnya tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua juga berpendapat, bahwa tujuan Negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga Negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan, rakyat yang berwenang memilih pemerintahnya, dan boleh mnghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukan merupakan absolute tetapi dibatasi oleh undang-undang.

Di sisi lain, filsafat Occam sering disebut Nomanalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas Aquinas (yang sesungguhnya sama-sama alirah hukum alam yang irasional). Jika Thomas meyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya, rasio manusia tidak dapat memsatikan sesuatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah norma-norma (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam kehidupannya.

John Wycliffe (1320 - 1384) dan Johanes Huss (1369 - 1415)

Sebagaimana umumnya filsuf abad pertengahan , Wycliffe – seorang filsuf Inggris– juga menyoroti masalah kekuasaan Gereja. Ia menolak hak-hak Paus untuk menerima upeti dari raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Menurutnya , kekuasaan ketuhanan tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gerja), sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajtnya di mata Tuhan.

Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Huss mengatakan bahwa Gereja tidak perlu mempunyai hak milik. Karena itu, penguasa boleh merampas hak milik itu apabila Gereja salah menggunakan haknya. Menurutnya, Paus hierarki Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.

2. HUKUM ALAM RASIONAL

Hugo de Groot alias Grotius (1583 - 1645)

Grotius dikenal sebgaia bapak hukum internasional karena dialah yang memperkenalkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antar Negara.

Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu.

Hukum alam menurutnya, adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Hukum ala mini tidak mungkin dapat diubah, (secara ekstrim) Grotius mengatakan oleh tuhan sekalipun! Hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya tetapi tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya.

Samuel von Pufendorf (1632 - 1694) dan Christian Thomasius (1655 - 1728)

Pufendorf adalah penganjur hukum alam pertama di Jerman. Pekerjaannya kemudian diteruskan oleh Christian Thomasius.

Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan. Akibatnya, ketika manusia mulai hidup di mayarakat timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan maka dibuatlah suatu perjanjian secara sukarela diantara rakyat. Baru setelah itu, diadakan perjanjian berukutnya berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yang didirikan.

Sementara itu menurut Thomasisus, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapatkan kepastian dari tindakan –tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan demikian dalam ajarannya tentang hukum alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran, sebagaimana Thomas Aquinas juga mengakuinya dalam hukum alamnya.

Apabila ukuran itu bertalian dengan batin manusia, ia adalah aturan kesusilaan, apabila ia memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah, ia merupakan aturan hukum. Jika kehendak diperlakukan, aturan hukum ini harus disertai dengan paksaan. Tentu saja yang dimaksud Thomasius disini adalah, pemaksaan dari pihak penguasa.

Immanuel Kant (1724 - 1804)

Filsafat Kant dikenal sebagai filsafat kritis, sebagai lawan dari filsafat dogmatis. Sekalipun demikian filsafat kritis yang dibangun oleh Kant adalah periode kedua dari pemikiran Kant.

Seperti yang diungkapkan olen Berents, kehidupan Kant terbagi menjadi dua periode, yakni zaman prakritis dan zaman kritis. Dalam zaman prakritis Kant menganut pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Akibat pengaruh dari David Hume[1] (1711 - 1776), berangsur-angsur meninggalkan rasionalismenya, ia sensiri mengatakan bahwa Hume lah yang membangunkan ia dari tidur dogmatisnya. Setelah itu Kant memulai mengubah pandangan filsafatnya menjadi pandangan yang bersifat kritis.

Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme dengan empirisme itu. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana yang dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah aada dari dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari empiri.

C. POSITIVISME HUKUM

Positivisme hukum memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivis, tiada huku kecuali perintah penguasa (law is a commandand of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal dengan nama legalisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.

Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak: pertama, aliran hukum positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin, kedua, aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790 - 1859)

Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup. Hukum adalah perintah yang memaksa yang dapat saja bijaksana dan adil,. Ataupun sebaliknya.

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: pertama, hukum dari tuhan untuk manusia (the devine laws), dan hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi: pertama adalah, hukum yang sebenarnya, hukum ini disebut juga dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur: (1) Perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), (4) kedaulatan (severeignty). Kedua adalah hukum yang tidak sebenarnya, mengenai hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan hukum dari suatu organisasi olahraga.

2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881 - 1973)

Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, histories, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari kelsen

Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun demikian pemikiran Kelsen dengan pemikiran Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantinisme sedangkan Austin mendasarkan pemikirannya pada Utilitarianisme.

Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya

Selain Kelsen disebut sebagai pencetus Teori Hukum Murni, ia juga berjasa mengembangkan Teori Jenjang (stufentheori) yang mana semulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836 - 1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah suatu norma, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Groundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.

D. UTILITARIANISME

Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung pada apakan hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.

Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.

Jeremy Bentham (1748 - 1832)

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan.

Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiannya (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.

Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Ajaran seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism.

Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini menyebabkannya terlalu melebihlebihkan kekuasaan pembuat undang-undangdan meremehkan perlunya individualisme kebijaksanaan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

John Stuart Mill (1806 - 1873)

Menurut Friedmann, peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu, dan kepentingan umum. Mill menolak pandangan bentham yang berasumsi bahwa antara kepentingan individu dan kepentingan umum tidak ada pertentangan. Mill juga menolak pandangan Immanuel Kant yang mengajarkan agar individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Karena menurut Mill, tidaklah dapat dimengerti, mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya untuk kebahagiaan, demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat?

Dalam menjawab semua itu, Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakikatnya, perasaan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginan demikian dapat diperbaiki dengan perasaan sosialnya (di sini tampak bahwa Mill menelaah masalah ini dengan kacamata psikologi). Mill menyatakan bahwa orang-orang yang baik menyesalkan tindakan yang tidak baik terhadap masyarakat, walaupun mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri sendiri, walaupun menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa yang digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita akan sedemikian rupa, sehingga semua makhluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan kepentingan mereka bersama.

Rudolf von Jhering (1818 - 1892)

Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum dari John Austin. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang setelah ia melakukan studi mendalam tentang hukum Romawi.

Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

E. MAZHAB SEJARAH

Mazhab sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:

1. rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.

2. semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia.

3. pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alas an-alasan yang murni.

Mazhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa (volkgeist).

Tokoh penting mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine.

Friedrich Carl von Savigny (1170 - 1861)

Hukum timbul, menurut Savigny, bukan karena perintah dari penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa (volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti diungkapkannya, “Law is expression of the common consciousness or spirit of people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volk). Pendapat Savigny seperti ini bertolak belakang pula dengan pandangan positivisme hukum. Ia mengingatkan, untuk membangunkan hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.

Perlu diketahui, walaupun Savigny menyatakan bahwa hukum itu tidak muncul dari kebiasaan, pengejawantahan yang paling konkret dari Volkgeist itu dalam kenyataannya adalah kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja “kebiasaan” di sini adalah kebiasaan yang berangkat dari tata nilai yang baik, yang dipilih secara selektif.

Puchta (1798 - 1846)

Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk: pertama, langsung berupa adapt istiadat, kedua, melalui undang-undang, ketiga, melalui ilmu hukum dalam bentuk karya ilmu hukum.

Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: pertama, bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam,” dan kedua, bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk suatu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.

Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adapt istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum ketika sudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukumoleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di pihak lain, yang berkuasa dalam negara tidak lagi membutuhkan dukungan apa pun. Ia berhak untuk membentuk suatu undang-undang tanpa bantuan dari kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat istiadat.

Henry Sumner Maine (1822 - 1888)

Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny, sehingga ia dianggap sebagai pelopor mazhab sejarah di Inggris. Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah.

Sumbangan Mainebagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak pada penerapan metoda empiris, sistematis, dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemikiran-pemikiran filosof dan spekulatif.

F. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton, kurang tepat dan adapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunaka istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan di atas, Paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum.

Menurut Lili Rasyidi, perbedaan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah merupakan cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbak balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence mengunakan pendekatan hukum ke masyaarakat, sedangkan sosiologi hukum menggunakan pendekatan masyarakat ke hukum.

Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memsihakan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup. Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah.

Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscou Pound.

Eugen Ehrlich (1862 - 1922)

Menurut Ehrlich, hukumpositif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakatdidasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.

Roscou Pound (1870 - 1964)

Poun terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engenering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang hjarus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:

a. Kepentingan umum (public interes);

  1. kepentingan negara sebagai badan hukum;
  2. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.

b. Kepentingan masyarakat (social interes);

  1. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
  2. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
  3. pencegah kemerosotan akhlak;
  4. pencegah pelanggaran hak;
  5. kesejahteraan sosial.

c. Kepentingan pribadi (private interes);

  1. kepentingan individu;
  2. kepentingan keluarga;
  3. kepentingan hak milik.

Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan praktiknya.

Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

G. REALISME HUKUM

Dalam pandangan penganut realisme (para realis),hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil dalam kehidupan. Itulah sebabnya, sangat benar apa yang dikatakan oleh seorang realis yang terkemuka (Llewellyn), bahwa hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.

Karl N. Llewellyn, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sosiologi hukum, menyebutkan beberapa ciri dari Realisme ini, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada mazhab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, tepatnya Llewellyn menyatakan, “Realism is not a philosophy, but a technology…What realism was, and is, is a method nothing more”.

2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Relisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.

3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin karena keinginan-keinginan pengamat atau tujuan-tujuan etis.

4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima definisi peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan”. Sesuai dengan kepercayaan itu, Realisme menggolongkan kasus-kasus ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil daripada yang terdapat dalam praktik di masa lampau.

5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya.

Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.

Sebenarnya Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Realisme Skandinavia ini lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para funsionaris hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Sakndinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.

1. Realisme Amerika

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti diungkapakan oleh John Chipman Gray: semua yang dimaksud dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundangan-perundangan.

Tokoh-tokoh utama Realisme Amerika anatara lain Charles Sanders Pierce, John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr., William James, John Dewey, B.N. Cordozo, dan Jerome Frank.

Charles Sanders Pierce (1839 - 1914)

Menurut Pierce, ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu ilmu pengertian dalam praktik hidup. Bagaimana pengertian tertentu ditanggapi dalam situasi tertentu? Maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah bahwa kata pragmatis dipakai oleh Pierce dalam arti empiris atau eksperimental.

John Chipman Gray (1839 - 1915)

Ia menyatakan bahwa di samping logika sebagai factor penting dalam pembentukkan perundang-undangan, unsur kepribadian, perasangka, dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukkan bagaimana faktor-faktor politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu telah menyelesaikan soal-soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun.

0liver Wendell Holmes, Jr (1841 - 1935)

Menurut Holmes, seorang sarjana hukum harus menghadapai gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun tidak sama sekali menaruh minat pada prinsip-prinsip normatif hukum, sekalipun seharusnya kelakuan mereka diatur menurut prinsip-psrinsip itu.

Ucapan Holmes yang terkena, yang dianggap secara tepat menggambarkan Realisme Hukum Amerika berbunyi, “The prophecies the court will do in fact and nothing morepretentious, are what I mean by the law”. Secara bebas kalimat itu dapat diartikan: perkiraan-perkiraan tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksud dengan hukum.

William James (1842 - 1910)

Menurut James, pragmatisme adalah “nama baru untuk beberapa pemikiran yang sama”, yang sebenarnya juga positivis, ia menyatakan bahwa seorang pragmatis menolak abtarksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, sistem yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang kelengkapan dan kecukupanm, fakta, perbuatan, kekuasaan. Itu berarat sifat memerintah berdasarkan pengalaman, dan sifat melepaskan diri dengan sungguh-sungguh. Itu berart suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari dogma, kepalsuan, dan anggapan final dari kebenaran.

John Dewey (1859 - 1952)

Inti ajaran Dewey adalah, bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari perinsip-perinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemingkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana hanya prinsip umum hanya bias dipakai sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah diterapkan sebelumnya harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Ia mulai dengan keadaan yang penuh problema dan sering membingungkan; proses pembuatannya jelas meliputi persoalan-persoalan tertentu. Dengan penentuan masalahnya, kemungkinan pemecahannya lebih jelas bagi penyidik (seperti hakim). Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta-fakta dalam kasus, ia dapat mengubah pemilihan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan dalam kasus. Premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan adalah dua cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental di mana faktor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yang utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Dewey juga menekankan bahwa penggantian pendekatan ini dengan pendekatan positivisme logia, penting bagi masyarakat. Pemikiran yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya menjadi alat yang tetap, aman, dan masuk akal untuk perbaikan sosial.

Benjamin Nathan Cordozo (1870 - 1938)

Cordozo beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu apabila penganutan terhadap terhadap preseden tidak konsisten denagn rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan, sehingga doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlakdan abadi. Tampaknya dri pendapatnya, bahwa dalam kegiatannya, hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu dengan kepentingan umum.

Cordozo beranggapan, berbagai kekuatan sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukkan hukum, misalnya, logika, sejarah, adat istiadat, kegunaan, dan standar moralitas yang telah diakui. Ia tidak menerima pendapat bahwa hukum suatu lemabagayang tidak mempunyai segi umum dan kesatuan. Sehingga hanya dari unsur-unsur yang terisolasikan atas dasar urutan yang kacau. Cordozo berpendapat, adanya standar-standar yang diakui masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatu tanda adanya kesatuan serta konsistensi dalam hukum, walaupun adanya keputusan-keputusan subjektif dari para hakim tidak dapat dicegah dala suatu kasus yang dihadapi.

Menurut Cordozo, perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adat istiadat dan moralitas. Ia beranggapan, para hakim dan legislator harus senantiasa mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial dalam pembentukkan hukum.

Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cordozo dalam bukunya The Nature of the Judicial Process (1921), harus senantiasa dipergunakan, agar hukum selalu serasi dengan kebutuhan sosial dan cita-cita tertib sosial yang kontemporer. Bagi Cordozo, hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahandalam masyarakat, sedangkan para legislator harus mendapatkan pengetahuan mengenai perubahan dari pengalaman serta studi terhadap kehidupan maupun pencerminannya.

Jerome Frank (1889 - 1957)

Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam aturan tetap, norma-norma hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan putusannya. Ia tidak menyangkal bahwa norma-norma hukum yang berlaku mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah satu unsur pertimbangan saja. Sama dengan Gray, Frang berpendapat, unsur-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipati pribadi, semuanya ikut berperan dalam putusan tersebut. Norma-norma hukum sebaikanya dilukiskan sebagai generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma-norma hukum itu dapat juga diramalkan tentang kelakuan hakim di masa depan, walaupun ramalan ini hanya berlaku dalam batas tertentu.

2. REALISME HUKUM

Tokoh-tokoh utama Realisme Skandinavia antara lain adalah Axel Hagerstrom, Olivecrona, Alf Ross, H.L.A. Hart, Julius Stone, John Rawls.

Axel Hagerstrom (1868 - 1939)

Hagerstrom menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan perasaan psikologis di sini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya..

Karl Olivecrona (1897 - 1980)

Olivecrona (seorang ahli hukum Swedia) menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas (independent imperatives). Menurutnya, adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak ada manusia yang dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum. Ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberian perintah hukum itu dengan negara atau rakyat. Identifikasi demikian merupakan abstraksi yang tidak realistis.

Ketentuan undan-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang berkenaan dengan pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.

Alf Ross (1899 - 1979)

Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.

Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.

H.L.A. HART (1907 - 1992)

Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa, sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.

Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma itu (rule of adjudication).

Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah seperti Groundnorm.

Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.

Julius Stone

Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.

Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.

John Rawls (lahir 1921)

Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.

Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls, dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.

Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas hidup manusia.

Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.

Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua, perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.

H. FREIRECHTSLEHRE

Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Dalam penentangan terhadap Positivisme Hukum itu, Freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika. Hanya saja, jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, Freirechtslehre tidak berhenti sampai di situ.

Aliran ini muncul terutama di Jerman dan merupakan sintesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis. Adapun yang dimaksud dengan ilmu analitis oleh Friedmann adalah aliran yang yang dibawakan antara lain oleh Austin; sedangkan ilmu sosiologis adalah aliran Ehrlich dan Pound.

Freirechtslehre berpendapat, bahwa hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang diciptakan oleh hakim.

Friedmann menyebutkan sejumlah eksponen utama Freirechtslehre, yaitu Ehrlich (1862 - 1922), yang dimasukkan ke dalam aliran Sociological Jurisprudence, Stampe, Ernst Fuchs (1859 - 1922), dan herman Isay.

Dalam bukunya Frei rechtsfindung (1903), Ehrlich mendalilkan hukum secara bebas dalam semua kasus, kecuali untuk kasus-kasus yang hukumnya sudah jelas. Pengecualian ini, menurut Ehrlich, relatif sedikit. Stampe dalam bukunya Freirechtsbewegung (1911), menuntut agar pengadilan berhak untuk mengubah hukum apabila hukum yang ada menghasilkan suatu malapetaka umum (Massenkalamitat). Kemudian, Fuch, mengembangkan ajaran yang sangat kuat dari ciri polotiknya. Dari ajaran-ajarannya dapat disebutkan antara lain ajaran tentang hak untuk menguji keabsahan undang-undang, dan ajaran yang dikembangkan oleh mahkamah agung mengenai resiko bersama antara majikan dan karyawan. Selanjutnya Herman Isay, menolak penemuan hukum berdasarkan suatu proses rasional. Menurutnya, penemuan hukum merupakan suatu proses intuitif yang dituntut oleh perasaan-perasaan dan prasangka-prasangkatertentu, sedangkan alasan logis digantikan sebagai pemikiran sesudahnya untuk proses naluriah itu, dan dipakai untuk meyakinkan akan adanya dunia lain.


[1] David Hume sendiri dalam filsafat dikenal sebagai tokoh empirisme (yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia bukan rasio, melainkan empiri tepatnya pengalaman yang berasal dari pengetahuan inderawi), suatu aliran yang bertentangan dengan rasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar