Minggu, 29 November 2009

KONSEP, OPERASIONALISASI, DAN PROSPEK PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA

1. Pendahuluan.
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga. Hampir semua
perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah
dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain
sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak –
mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju
dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara
berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.
Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak
melihat sistem bunga sebagai biang keladinya . Karena luput dari pengamatan,Pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga
yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.
Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara –
negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan
peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar
menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para
pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu
kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya
para penyandang gelar ekonomi lemah (PEGEL) korban sistem bunga lebih
merasakannya sebagai belas kasihan dari pada hak. Dan pemasaran tapi sayangnya
sistem bunga yang berlaku secara otomatis menjaga jarak tetap diantara keduanya.
Namun di Indonesia, kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia,
Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah
berdasarkan sistem bagi hasil.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu
mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah,
asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham,
menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan
sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk
berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal
ventura, leasing, dan pegadaian.
1 Disajikan dalam rangka Dialog Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perbankan
Syariah (PSPS) STIE “SBI” Yogyakarta, tanggal 25 Agustus 1997.
Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana
syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan
demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap
berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.
2. Konsep lembaga gadai syariah.
Walaupun cikal bakal lembaga gadai berasal dari Italia yang kemudian berkembang
keseluruh dataran Eropa, perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam.
Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan
sesuatu barang sebagai tanggungan hutang.
Dasar hukum rahn adalah Al Qur’an, khususnya surat Al – Baqarah ayat 282 yang
mengajarkan agar perjanjian hutang – piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi –
saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang2
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 282 :
“ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ... Dan
persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang – orang lelaki diantaramu. Jika tak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi –
s aks i yang kamu r idhai , supaya j ika seorang lupa maka seorang l agi
mengiangatkanya. ... “
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). ... “
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi
Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang
diutang dengan jaminan berupa baju besinya.3
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
maggadaikan kepadanya baju besi beliau “.
Dasar hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh)
perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi – segi teknis, seperti ketentuan
2 Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al
Mush – haf – asy – Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H, halaman 70 –71.
3 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, PT. Al – Ma’rif, Bandung, 1988, halaman 140.
tentang siapa yang harus menaggung biaya pemeliharaan selama marhun berada
ditangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb., adalah merupakan ijtihad yang
dilakukan para fukaha.
Unsur – unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut “ rahin
“, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang
digadaikan disebut “ marhun “. Juga merupakan unsur rahn adalah sighat akad.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4
sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.
Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga
dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan
barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga
atau mengandung unsur riba.
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam
Kifayatul Akhyar5bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan menurut
syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian
gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing – masing pihak
dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan
Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti
perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
4 H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994, halaman 115-116,
5 H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan Ringkas FIQIH
ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 143.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah
menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam
batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan
yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari
murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang
akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman
sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan
hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang
yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima
pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang,
sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang
rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya
dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban
membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah
menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh. Dasar
hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang
didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al –
Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah Bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul
bebannya (beban pemeliharaannya)"6
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan
untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu
berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :
Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :
“Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu
yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang
menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)7
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak,
sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban
rahin melunasi hutangnya 8. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil
langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat
dilakukan penyelesaian yang adil.
6 Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989,
halaman 156.
7 Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, terjemahan Anshori Umar
Sitanggal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1985, halaman 180.
8 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 143
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah
perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan
menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :
“ Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia
tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “ 9.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan
tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat
memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan
kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup
kekurangannya10.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,
maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil
penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih
dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup
kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi
hutang almarhum pemilik barang1 1.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai
sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara
individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut
Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana
bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan
sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih
qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal)
sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah12
.
Didalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam
menanggung biaya yang secara nyata terjadi se[perti biata penyimpanan dll., dan
dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo
tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian
hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan
mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi
bagihasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
9 Opcit, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, halaman 180.
10 Opcit,Masail Fiqhiyah, halaman 156.
11 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 144.
12 Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits
Pilihan tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia, Jakarta, 1996, halaman 179-184.
Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang
miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding)
yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau
memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai
syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada
lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang
piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian
berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan
suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut
berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah
pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum
gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi
keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi
hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi
jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan
pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak
berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang
tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan
dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan,
aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
3. Operasionalisasi Lembaga Gadai Syariah.
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah
untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian
hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara
syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya
adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi
perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok
pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian
hutang. Dalam hal ini biaya – biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban
peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan
prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang
secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat dianjurkan
dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam
dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlukan
dalam kasus – kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan
demikian al – Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq13. Tanggung jawab
ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai kepada negara.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal
perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan gadai
yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa
sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai
sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan atau
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.
Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul
hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba
membuka usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk
qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian
hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang
terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu samalain
secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan
dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama
dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila
terjadi perbedan pendapat, maka p3erbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui
arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte
notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya
pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau
ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan14.
b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam
bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan
13 Ibid, Ajaran Nabi Muhammad saw tentang Ekonomi, halaman 182-183
14 Mengambil keuntungan pada jual beli uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah atau mengenakan
sewa atas modal uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah sering dipergunakan untuk menutupi kata
bunga.
dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang
dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara
pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan
pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha. Kedua pihak
kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi
pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu
dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu
dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan
apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat
diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi
perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau
pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata –
nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya
akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan
pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat
penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang
apapun namanya juga dilarang dikenakan15.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), dll.
Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi,
lebaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua
bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai
syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada
perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif
yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak
diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun
menurut berita dalam praktek banyak bank – bank terutama yang berkantor diwilayah
kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam
bentuk perhiasan.
Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang
khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang
bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata – mata untuk membantu
masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan
pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah
15 ibid
sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila
hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan
misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk
badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja
mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia
disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Karena gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan
hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah
berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah
ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan
seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul
hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank
yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan sistem
bunga tetapi dengan sistem bagihasil.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk
perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan
yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini
perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek
sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
a. Aspek Legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan pemerintah no. 10 tahun 1990 tentang
pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum
(PERUM) Pegadaian16, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah
badan usaha tunggal yang diberi wewenang unutk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada
pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba 17, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan, yaitu :
(1).Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman.
Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan, umat Islam
mempunyai pilihan kedua;
(2).Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a. Dengan usul yang kedua
ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam
bentuk perusahaan yag dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
16 Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta, 16 Juni 1993, halaman 96-97.
17 Pengertian riba pada makalah ini menganut pengertian yang sama dengan pengertian yang menjadi latar
belakang berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia. Termasuk bunga bank dan bunga obligasi dalam
pengertian ini adalah riba.
Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima pilihan pertama,
karena akan lebih mudah bagi umat Islam untuk mewujudkan keinginannya. Penyesuaian
untuk betul-betul menjadikan Perum Pegadaian perusahaan gadai yang sesuai dengan
misinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk operasional
barangkali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan luar negeri.
Pinjaman obligasi dari masyarakat mungkin juga bisa dibuatkan model yang sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
Namun andaikata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli Perum Pegadaian
karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai syariah yang diharapkan dapat
diberi izin berdiri tentunya adalah perusahaan yang persyaratan modalnya cukup besar.
Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru boleh membuka
cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari instansi yang berwenang. Masyarakat
tentunya tidak menghendaki terlalu banyaknya perusahaan gadai kecil-kecil milik keluarga
seperti buka warung, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak
yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena dalam ketentuan
syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui sistem bagihasil mudharabah, bentuk
yang paling cocok untuk suatu perusahaan gadai syariah adalah Perseroan Terbatas.
b. Aspek Permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan
yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting lainnya yang
perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup
besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan
investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.
Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan
terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan
yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada
kemungkinan pemegang saham perusahaan gadai syariah melebihi jumlah minimum
sehingga perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik.
c. Aspek Sumber Daya Manusia
Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap
apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta oleh
pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah
pinjaman tidaklah mudah. Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai
sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat
mejadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini
nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat.
Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat
menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai.
Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu
mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan ketrampilannya.
Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penaksir barang, pada
perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis kelayakan usaha yang andal untuk
menilai usaha yang diajukan pada perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk
mudharabah. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan
gadai syariah untuk memperoleh bagihasil yang memadai. Unutk juru taksir, pada tahap
awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum Pegadaian.
Kemudian unutk para analis kelayakan usaha diperlukan tenaga-tenaga sarjana yang
berpengalamanminimal 2 taun. Calon-calon manajerpun perlu sipersiapkan untuk
pimpinan pusat maupun cabang.
d. Aspek Kelembagaan
Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat
diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak meyimpang dari prinsip
syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai
kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba.
Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang
tidak dilarang dalam agama Islam.
Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan
adana suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut Dewan Pengawas Syariah yang
selalu memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai
syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh
masyarakat setempat.
e. Aspek Sistem dan Prosedur
Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi
haraus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh karena
itu sistem dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meyulitkan calon
nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai dalam
bentuk al-qardhul hassan maupun hutang-piutang gadai dalam bentuk almudharabah.
Loket-loket dipisahkan antara yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-qardhul hassan dan yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-mudharabah, namun harus dibuat fleksibel sedemikian rupa sehingga
terhindar adanya antrian panjang. Biasanya mereka yang ingin memasuki perjanjian
hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah adalah peminjam dalam jumlah besar.
f. Aspek Pengawasan
Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena
dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha
Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan yang
disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah merupakan pelaksanaan amanah.
Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada
Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat
mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Termasuk dalam
organ pengawasan adalah Dewan Pengawasan Syariah yang terdiri dari para ulama yang
cukup dikenal masyarakat.
4. Prospek Pegadaian Syariah
Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah
maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai
persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi18 (minimum dua
kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk
mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan
aman.
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut
SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya
(Oportunity), dan ancamannya (Threat) , sebagai berikut:
a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.
(1).Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia,
bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan
besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.
(2).Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam
adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan
terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri
Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di
Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic
Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974
dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of
Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga
keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di
negara-negara anggotanya19. Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah
datang ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan
syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan
lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di
Indonesia.
(3).Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan
sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah
jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin
tingginya tingkat bunga.
18 Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi
juga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dengan agunan polis.
19 Agreement Establishing the Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing Press, Jeddah, 12
Agustus 1994, hal. 6.
(b). Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara
pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi
keuntungan / kerugian secara adil.
(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan
membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar
jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai
dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau
keuntungan usahanya kecil dan bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.
(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung
kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya
bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh
gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan
operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.
Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk
terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.
b. Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.
(1).Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang
yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang
karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad
tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah ang diberikan dengan sistem bagihasil
akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya. Bisa saja
terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian
tidak memperoleh bagian laba.
(2).Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung
biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan
demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan
kecermatan yang lebih besar.
(3).Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak
memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai
kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagihasil mungkin akan
membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara
konvensional yang hasl pendapatannya sudah tetap dari bunga.
(4).Karena pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan
disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan
dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi
pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku,
tremasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.
Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua
untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk
tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang
membentuk peluang-peluang dibawah ini :
(1). Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama
(a).Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya
yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima
dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena
riba dalam agama Islam jelas -jelas dilarang maka masih banyak masyarakat
Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.
(b).Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di
sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondokpondok
pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan
sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
(c). Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang
berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan
dengan syariah Islam, yaitu antara lain :
· Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena
seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan
sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu
yang telah ditetapkan (periksa surat Luqman ayat 34).
· Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan
unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan
berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda (periksa surat
Al-Imron ayat 130).
· Memperdagangkan / menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah
dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh
keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba
(periksa terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.
1551 s/d 1567).
· Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang
dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya
harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena
ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah
Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no. 1569 s/d 1572)
Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut
diataslah yng ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.
(2). Adanya peluang ekonomi dabi berkembangnya pegadaian syariah
(a). Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya
diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut
diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan
dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri
diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya
semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
(b).Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan
masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan
peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi
mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang
tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman
mudharabah.
(c).Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di
Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga
keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di
Timur Tengah.
(d).Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan
perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha
dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada
perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan
kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah
adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dnegan
sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di
Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum
yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup
besar.
d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian
syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang
akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena
tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak
mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas -jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa
pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara
mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah. Ancaman
berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk
kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalaui
sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan
pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap
status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan
dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk
mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian syariah.
Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini
maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga -jaga dan mengupayakan
penangkalnya.
Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah
mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan
lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan
ancaman (threat) dapat diatasi.
5. Kesimpulan
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya
oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya
akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan
pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang
antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah
merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah
al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat
dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua
pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau
penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi
gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku
(hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional
karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.
h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan
agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
i. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai
perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
j. Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan PP no. 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk
Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan
usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai.
k. Misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada pasal 5 ayat (2)b yaitu
pencegahan ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi Perum Pegadaian
tersebut maka umat Islam mempunyai dua pilihan yaitu :
(3). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan
pinjaman.
(4). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a.
l. Dengan analisa SWOT dapat disimpulkan bahwa prospek pegadaian syariah adalah
sangat cerah, baik itu untuk Perum Pegadaian yang telah menerapkan sistem syariah
maupun untuk pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila
kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat)
dapat diatasi.
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramin asy Syarifain al Malik
Fahd li thiba’at al Mush-haf-asy-Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H.
Agreement Establishing The Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing
Press, Jeddah, 12 Agustus 1994.
Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta 16 Juni 1993.
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi
(Kumpulan Hadits-hadits Pilihan Tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia,
Jakarta, 1996.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam,
terjemahan Anshori Umar Sitangal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam,
Al-Ma’arif, Bandung, 1985.
Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1989.
H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan
Ringkas FIQIH ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1988.

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

A. PENGERTIAN STUDI HUKUM KRITIS (CRITICAL LEGAL STUDIES)

Pengertian Studi Hukum Kritis, antara lain dapat kita temukan di dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School. Di dalamnya, antara lain disebutkan:

“Critical Legal Studies (CLS) is a theory that challenges and overturns accepted norms and standards in legal theory and practice. Proponents of this theory believe that logic and structure attributed to the law grow out of the power relationship of the society. The law exists to support the interests of the party or class that forms it and is merely a collection of beliefs and prejudices that legitimize the injustice of society. The wealthy and the powerful use the law as an instrument for oppression in order to maintain their place in hierarchy”

Dari definisi di atas maka dapat dinyatakan bahwa Studi Hukum Kritis adalah teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standard-standard di dalam teori dan praktek yang selama ini telah diterima. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis, Studi Hukum Kritis ialah, suatu penentangan terhadap norma yang dapat menekankan hukum kepada masyarakat, sebab memang nanti pada sub bab selanjutnya dalam sejarah munculnya Studi Hukum Kritis ini muncul pada saat kultur politik yang radikal. Ketika munculnya Studi Hukum Kritis ini maka barulah penolakan-penolakan dan perlawanan-perlawanan terjadi kepada norma-norma yang sebelumnya telah diterima oleh masyarakat

B. SEPUTAR MUNCULNYA GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Gerakan Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahi karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis, dan di beberaoa negara lain. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.

Pada konfrensi Critical Legal Studies tahun 1974 tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in book) dengan hukum dalam prektek (law in action), dan kegagalan hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konfrensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan para ahli hukum sebagai berikut:

• Abel
• Heller
• Horwitz
• Kennedy
• Macaulay
• Rosenblatt
• Trubek
• Tushnet
• Unger

Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam decade 1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan tetapi, dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan Critical Legal Studies juga mengakui keterbatasan dari pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black latter law tersebut.

C. LEGAL REALISME SEBAGAI AKAR STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Dalam membahas tentang studi hukum kritis, oleh Milovanovic seperti yang dikutip oleh Adji Sumekto menuliskan:

“Critical Legal Studies (CLS) was an outgrowth of the critical development of Realism”

Tulisan tersebut menunjukan bahwa studi hukum kritis berakar pada Legal Realism sebagai salah satu aliran yang muncul dalam teori hukum.

Surya Prakash Sinha, menuliskan:
“The philosophical mooring of the (CLS) movement are found in the Critical Theory of the Frankfrut School … an the American Legal Realism.”
Oleh karena itu, bisa dipahami apabila, James Boyle, dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Reason: Critical Legal Theori and Local Social Thought menuliskan

“it is a commonplace that to understand critical legal thought one must first understand legal realism.”

Di dalam tilisan yang berjudul “Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School”, dinyatakan:

“... legal realist rebelled against accepted legal theories of the day and urged more attention to the social context of the law”

Pernyataan ini didukung dengan jelas menunjukkan bahwa ajaran Legal realism bermaksud untuk menentang teori-teori hukum yang pada waktu itu twlh diterima benar adanya sebagaimana dinyatakan oleh Calvin Woodward sebagaimana yang dikutip oleh Adji Sumekto:

“the Teaching of ‘Legal Realist’ of the new deal era, attacked the most sacred precepts of our legal system-that general legal principle (the common law) are embodied in judicial opinions, that by legal analysis the correct or dispositive legal principle can be discovered and that judge apply thos principles dispassionately, free of political bias and personal prejudice… ”

Jadi, Menurut pendapat di atas, ajaran-ajaran dalam legal realisme dimaksud untuk menentang ajaran hukum yang telah dianggap benar yang menganggap bahwa melalui analisis hukum, prinsip-prinsip hukum yang benar dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip hukum yang termuat dalam judicial opinions, di mana hakim menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara tidak memihak (dispassionately), bebas dari bias politik dan penilaian pribadi.

Berdasarkan hal itulah maka legal realism mendorong dilakukannya perhatian yang lebih besar untuk melihat hukum dalam konteks sosial. Oleh karena itu, dasar pijakan analisi dalam ajaran legal realism tetap pada norma atau hukum (positif) yang berlaku, tetapi harus dikembangkan dengan menyertakan faktor ¬extra – legal berupa fakta sosial atau pengalaman hidup, sebagai masukan dalam upaya berfikir yang lebih realistic untuk memfungsikan hukum (positif) tersebut. Dari sinilah hukum tidak lagi dilihat sebagai sarana kontrol sosial, tetapi juga harus digunakan sebgai sarana rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Faktor-faktor extra – legal itu jelas berada di luar wilayah doktrin-doktrin atau norma-norma hukum, sehingga penelitian dan studi-studinya harus memasuki kajian nondoktrinal.

D. KONSEP CRITICAL LEGAL STUDIES

Dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview tersebut dinyatakan:

“… The basic idea of CLS is that the law is politic an it is not neutral or value free. Many in CLS movement wanto to overturn the hierarchical structures of domination in the modern society and many of them have focused on the law as a tool in achieving this goal”

Dengan demikian ide dasar dari Studi Hukum Kritis adalah pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, dalam pandangan Studi Hukum Kritis, hukum di dalam pembuatan, hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, sekalipun dalam liberal legal order dibentuk keyakinan akan kenetralan, objektivitas, dan prediktabilitas dalam hukum.

Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial praktis.

Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Di samping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran studi hukum krutis mengajukan pandanganya sebagai berikut:

1. Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah, yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum netral.

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut Studi Hukum Kritis percaya, bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru “pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif.” Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah “pemikiran yang rasional”. Akan tetapi. Menurut penganut Studi Hukum Kritis, pemikiran rasional itu merupakan cipataan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun verifikasi empiris.

4. Hukum tidak netral
Para penganut Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura, atau percaya secara naïf bahwa dia mengambil putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal, mereka selalu bisa dan selalu dipengaruhi oleh ideologi, legitimasi, dan mistifikasi yang dianutnya untuk memperkuat kelas dominan.

Jadi, pada dasarnya tujuan dari Studi Hukum Kritis adalah untuk menghilangkan halangan atau kendala-kendala yang dialami individu-individu yang berasal dari struktur sosial dan kelas (dalam masyarakat). Dengan hilangnya kendala-kendala itu diharapkan individu-individu itu dapat memberdayakan diri untuk mengembangkan pengertian baru tentang keberadaannya serta dapat secara bebas mengekspresikan pendapatnya.

PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Asal-usul ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Tuhan sebagai pencipta ilmu. Tuhan menyampaikan pengetahuan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Pengetahuan tertulis tercatat dalam kitab agama samawi, termasuk al-Quran dan pengetahuan yang tidak tertulis teramati melalui Sunatullah (natural law) di alam ini.

Dalam bukunya Suhar AM dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan ialah, hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset, dan eksperimental.

Namun dalam buku lain dijelaskan pula, yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan, ialah pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi ilmiah (scientific methods) berarti setiap masalah dijawab oleh manusia dengan menggunakan metodologi ilmiah disebut masalah ilmiah

B. Pengertian filsafat

Berbicara mengenai pengertian filasafat, banyak ahli yang mengartikan hal ini, bahkan arti/makna dari filsafat hampir tidak asing lagi didengar oleh semua lapiusan masyarakat mulai dari para cendikiawan barat sampai kepada cendikiawan “lokal”, bahkan masyarakat awampun dapat mengartikan filsafat secara sederhana dan definitif Menurut mereka masing-masing. Hal ini di sebabkan karena mengingat luasnya ruang lingkup pembahasan mengenai filsafat.

Kata “filsafat” sering diresepsi sebagai suatu teori umum tentang sesuatu, khususnya tentang bagaimana memperoleh pengertian yang luas tentang sesuatu tersebut. Secara etimologi kata “filsafat” berasal dari bahasa yunani yang tersusun dar dua kata “Philo” dan ”Sophia” dalam arti mencinta (pecinta) kebijaksanaan. Dengan demikian maka Philosophia (Yun.) berarti cinta kepada pengetahuan/hikmat (cinta dalam kebijaksanaan Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan).

Prof. I.R. Poedjawijatna dalam hal pembatasan nama filsafat mengatakan, dalam bahasa yunani kata filosofia mempunya makna yang majemuk yang terjadi dari fil dan sofia. Filo berarti cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu lalu berusaha mencapai yang diingini itu. Sofia artinya bijaksana. Bijaksana ini pun kata asing. Adapun artinya pandai, tahu dengan mendalam, jadi Menurut namanya saja filsafat boleh dinamakan ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.

Oleh karenanya di sini, penulis mencoba untuk memaparkan arti filsafat secara singkat, yang diambil dari berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh para filsuf dan para cendikia yang berkecimpung di bidang filsafat.

1. Herbert Spencer memberikan definisi filsafat sebagai pengetahuan yang seragam lengkap, berlainan dengan ilmu pengetahuan yang merupakan kesatuan pengetahuan khusus. Yang dimaksud oleh Spencer adalah bahwa filsafat mencoba untuk mempersatukan beberapa ilmu pengetahuan agar menjadi suatu sistem yang seragam, sebagaimana masing-masing pengetahuan khusus mencoba mempersatukan dalam bidangnya masing-masing fakta-fakta khusus agar menjadi suatu sistem yang seragam
2. Plato (427 S.M. – 348 S.M.) memberikan definisi “Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli”
3. Aristoteles (328 S.M. – 322 S.M.) memberikan definisi “Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika”
4. Descrates (1590 M – 1650 M) memberikan definisi “Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan”.
5. Immanuel Kant (1724 M – 1804 M.) memberikan definisi “Filasafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan”.

Selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat Menurut tokoh-tokoh di Indonesia yang berkecimpung dalam lapangan filsafat, sebagai berikut:

1. W.M. Bakker SY. Menyatakan: ”Filsafat adalah sesuatu yang rasionil atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakekat dan memperoleh hikmah”
2. Hasbullah Bakry menyatakan: ”Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki, segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga menghasilkan pengetahuan tentang bgaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu”

Secara praktis filsafat dapat diartikan dalam beberapa bentuk berikut;
1. Filsafat berarti ilmu yang menyelidiki fakta-fakta prinsip-prinsip dari kenyataan (reality) dan tabiat dan tingkah laku manusia.
2. Filsafat dewasa ini, diartikan ilmu yang meliputi logika, etika, metafisika, dan ilmu pengetahuan (epistimologisme).
3. Filsafat terkadang diartikan pula suatu sikap terhadap aktivitas seseorang.

Rabu, 25 November 2009

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

ALIRAN-ALIRAN

DALAM FILSAFAT HUKUM

A. PENDAHULUAN

Pembahasan tentang aliran-aliran dalam filsafat hukum merupakan inti dari pembahasan filsafat hukum. Dengan mengetahui pokok-pokok aliran tersebut, sekaligus juga dapat diamati berbagai corak tentang pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, sadarlah kita betapa kompleksnya hukum itu dengan berbagai sudut pandangnya. Hukum dapat diartikan macam-macam, demikian juga tujuan hukum. Setiap aliran berangkat dari argumentasinya sendiri. Akhirnya, pemahaman terhadap aliran-aliran tersebut akan membuat wawasan kita makin kaya dan terbuka dalam memandang hukum dan masalah-masalahnya.

Dipaparkannya aliran-aliran filsafat hukum ini juga tidak sekedar merupakan “napak tilas” perjalanan pemikiran para ahli tersebut. Dengan mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut kita akan mendapat banyak masukan yang memungkinkan untuk menghargai pendapat orang lain. Sudah menjadi tradisi ilmiah bahwa suatu pemikiran pada saat tertentu akan terasa tidak sesuai lagi dengan zamannya, dan segera disangkal oleh pemikir berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang berharga untuk dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti, kembali tampil ke depan dengan bentuk baru.

B. ALIRAN HUKUM ALAM

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksisitensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari pada hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.

Menurut aliran hukum alam, kaidah hukum adalah hasil dari titah tuhan dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi. Sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Hukum tersebut tidak dapat dihapuskan oleh perwakilan bahkan raja sekalipun.

Meskipun demikian aliran hukum alam ini sering bertentangan dalam berpendapat, oleh karenanya ada dua golongan aliran hukum alam. Pertama aliran hukum alam irasional, Kedua aliran hukum alam rasional. Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Sebaliknya aliran hukum alam rasional berpendapat, bahwa hukum yang universal berasal dari rasio manusia.

Pendukung aliran hukum alam irasioanal antara lain adalah: Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe. Tokoh-tokoh aliran hukum alam rasional antara lain adalah: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, Samuel von Pofendrof.

Menurut Friedman, hukum alam itu mempunyai fungsi jamak, yakni:

  1. Sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi kesuatu sistem yang luas dan cosmopolitan.
  2. Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara Gereja pada abad pertengahan dan para kaisar Jerman.
  3. sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional, dan menuntut kebebasan individu dari absolutisme.
  4. prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan konstitusi) guna menentang usaha peundang-undangan Negara untuk memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi.

1. HUKUM ALAM RASIONAL

Thomas Aquinas (1225 - 1274)

Filsafat Thomas aquinus berkaitan erat dengan teologia, ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama, yaitu: pertama, pengetahuan alamiah (berpangkal pada akal), kedua, pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi).

Berbicara mengenai hukum, Aquinas mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Aquinas pun membagi hukum kedalam 4 (empat) golongan:

  1. Lex Aeterna: merupakan rasio tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera.
  2. Lex Divina: bagian dari rasio tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
  3. Lex Naturalis: inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia.
  4. Lex Positivis: hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum oleh alam manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.

John Salisbury (1115 – 1180)

Salisbury adalah seorang rohaniawan pada abad pertenganhan. Ia banyak mengkeritik kesewenangan penguasa waktu itu. Menurutnya, Gereja dan Negara perlu bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.

Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah

Menurut Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan sebaik-baiknya. Salisbury juga melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerjasama dari semua unsur, suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.

Dante Alighieri (1265 - 1321)

Seperti halnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante sebagian besar merupakan tanggapan terhadap situasi yang kacau-balau pada masa itu.

Baik Jerman maupun Perancis pada abad pertengahan, menghadapi perselisihan dengan kekuasaan paus di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan pada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolute.

Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarki mondial. Monarki dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu dengan penguasa yang lainnya. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan. Menurut Dante, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarki dunia ini adalah kekaisaran Romawi. Hanya saja, pada abad pertengahan sudah digantikan oleh kekuasaan Jerman dan kemudian oleh Perancis, Eropa.

Piere Dubois (lahir 1255)

Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Perancis kedudukannya sebagai pengacara raja Perancis pada masa itu selaras dengan pandangan-pandangannya yang pro penguasa.

Sama seperti Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat menerima kekuasaan dari tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan dunia Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya oleh raja.

Menurut schmid, dalam beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian. Misalnya, ia mengusulkan agar hubungan Negara-negara (di bawah kekuasaan Perancis) diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita pada badan PBB sekarang. Ia juga menyatakan, bahwa raja pun memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, tetapi raja tidak terkait untuk mematuhinya.

Marsilius Padua (1270 - 1340) dan William Occam (1280 - 1317)

Pemikiran Padua seringkali diuraikan bersama-sama dengan pemikiaran William Occam, mengingat keduanya banyak persamaannya. J.J. von Schmid menyebutkan, kedua orang ini merupakan tokoh penting abad ke 14, sama-sama dari Ordo Fransiscan. Karena pertentangannya terhadap Gererja, kedua orang ini juga sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh Paus.

Padua berpendapat bahwa Negara berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Pendapatnya tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua juga berpendapat, bahwa tujuan Negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga Negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan, rakyat yang berwenang memilih pemerintahnya, dan boleh mnghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukan merupakan absolute tetapi dibatasi oleh undang-undang.

Di sisi lain, filsafat Occam sering disebut Nomanalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas Aquinas (yang sesungguhnya sama-sama alirah hukum alam yang irasional). Jika Thomas meyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya, rasio manusia tidak dapat memsatikan sesuatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah norma-norma (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam kehidupannya.

John Wycliffe (1320 - 1384) dan Johanes Huss (1369 - 1415)

Sebagaimana umumnya filsuf abad pertengahan , Wycliffe – seorang filsuf Inggris– juga menyoroti masalah kekuasaan Gereja. Ia menolak hak-hak Paus untuk menerima upeti dari raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Menurutnya , kekuasaan ketuhanan tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gerja), sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajtnya di mata Tuhan.

Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Huss mengatakan bahwa Gereja tidak perlu mempunyai hak milik. Karena itu, penguasa boleh merampas hak milik itu apabila Gereja salah menggunakan haknya. Menurutnya, Paus hierarki Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.

2. HUKUM ALAM RASIONAL

Hugo de Groot alias Grotius (1583 - 1645)

Grotius dikenal sebgaia bapak hukum internasional karena dialah yang memperkenalkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antar Negara.

Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu.

Hukum alam menurutnya, adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Hukum ala mini tidak mungkin dapat diubah, (secara ekstrim) Grotius mengatakan oleh tuhan sekalipun! Hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya tetapi tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya.

Samuel von Pufendorf (1632 - 1694) dan Christian Thomasius (1655 - 1728)

Pufendorf adalah penganjur hukum alam pertama di Jerman. Pekerjaannya kemudian diteruskan oleh Christian Thomasius.

Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan. Akibatnya, ketika manusia mulai hidup di mayarakat timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan maka dibuatlah suatu perjanjian secara sukarela diantara rakyat. Baru setelah itu, diadakan perjanjian berukutnya berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yang didirikan.

Sementara itu menurut Thomasisus, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapatkan kepastian dari tindakan –tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan demikian dalam ajarannya tentang hukum alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran, sebagaimana Thomas Aquinas juga mengakuinya dalam hukum alamnya.

Apabila ukuran itu bertalian dengan batin manusia, ia adalah aturan kesusilaan, apabila ia memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah, ia merupakan aturan hukum. Jika kehendak diperlakukan, aturan hukum ini harus disertai dengan paksaan. Tentu saja yang dimaksud Thomasius disini adalah, pemaksaan dari pihak penguasa.

Immanuel Kant (1724 - 1804)

Filsafat Kant dikenal sebagai filsafat kritis, sebagai lawan dari filsafat dogmatis. Sekalipun demikian filsafat kritis yang dibangun oleh Kant adalah periode kedua dari pemikiran Kant.

Seperti yang diungkapkan olen Berents, kehidupan Kant terbagi menjadi dua periode, yakni zaman prakritis dan zaman kritis. Dalam zaman prakritis Kant menganut pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Akibat pengaruh dari David Hume[1] (1711 - 1776), berangsur-angsur meninggalkan rasionalismenya, ia sensiri mengatakan bahwa Hume lah yang membangunkan ia dari tidur dogmatisnya. Setelah itu Kant memulai mengubah pandangan filsafatnya menjadi pandangan yang bersifat kritis.

Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme dengan empirisme itu. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana yang dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah aada dari dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari empiri.

C. POSITIVISME HUKUM

Positivisme hukum memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivis, tiada huku kecuali perintah penguasa (law is a commandand of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal dengan nama legalisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.

Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak: pertama, aliran hukum positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin, kedua, aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790 - 1859)

Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup. Hukum adalah perintah yang memaksa yang dapat saja bijaksana dan adil,. Ataupun sebaliknya.

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: pertama, hukum dari tuhan untuk manusia (the devine laws), dan hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi: pertama adalah, hukum yang sebenarnya, hukum ini disebut juga dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur: (1) Perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), (4) kedaulatan (severeignty). Kedua adalah hukum yang tidak sebenarnya, mengenai hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan hukum dari suatu organisasi olahraga.

2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881 - 1973)

Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, histories, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari kelsen

Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun demikian pemikiran Kelsen dengan pemikiran Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantinisme sedangkan Austin mendasarkan pemikirannya pada Utilitarianisme.

Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya

Selain Kelsen disebut sebagai pencetus Teori Hukum Murni, ia juga berjasa mengembangkan Teori Jenjang (stufentheori) yang mana semulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836 - 1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah suatu norma, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Groundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.

D. UTILITARIANISME

Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung pada apakan hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.

Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.

Jeremy Bentham (1748 - 1832)

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan.

Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiannya (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.

Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Ajaran seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism.

Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini menyebabkannya terlalu melebihlebihkan kekuasaan pembuat undang-undangdan meremehkan perlunya individualisme kebijaksanaan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

John Stuart Mill (1806 - 1873)

Menurut Friedmann, peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu, dan kepentingan umum. Mill menolak pandangan bentham yang berasumsi bahwa antara kepentingan individu dan kepentingan umum tidak ada pertentangan. Mill juga menolak pandangan Immanuel Kant yang mengajarkan agar individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Karena menurut Mill, tidaklah dapat dimengerti, mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya untuk kebahagiaan, demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat?

Dalam menjawab semua itu, Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakikatnya, perasaan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginan demikian dapat diperbaiki dengan perasaan sosialnya (di sini tampak bahwa Mill menelaah masalah ini dengan kacamata psikologi). Mill menyatakan bahwa orang-orang yang baik menyesalkan tindakan yang tidak baik terhadap masyarakat, walaupun mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri sendiri, walaupun menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa yang digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita akan sedemikian rupa, sehingga semua makhluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan kepentingan mereka bersama.

Rudolf von Jhering (1818 - 1892)

Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum dari John Austin. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang setelah ia melakukan studi mendalam tentang hukum Romawi.

Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

E. MAZHAB SEJARAH

Mazhab sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:

1. rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.

2. semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia.

3. pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alas an-alasan yang murni.

Mazhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa (volkgeist).

Tokoh penting mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine.

Friedrich Carl von Savigny (1170 - 1861)

Hukum timbul, menurut Savigny, bukan karena perintah dari penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa (volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti diungkapkannya, “Law is expression of the common consciousness or spirit of people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volk). Pendapat Savigny seperti ini bertolak belakang pula dengan pandangan positivisme hukum. Ia mengingatkan, untuk membangunkan hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.

Perlu diketahui, walaupun Savigny menyatakan bahwa hukum itu tidak muncul dari kebiasaan, pengejawantahan yang paling konkret dari Volkgeist itu dalam kenyataannya adalah kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja “kebiasaan” di sini adalah kebiasaan yang berangkat dari tata nilai yang baik, yang dipilih secara selektif.

Puchta (1798 - 1846)

Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk: pertama, langsung berupa adapt istiadat, kedua, melalui undang-undang, ketiga, melalui ilmu hukum dalam bentuk karya ilmu hukum.

Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: pertama, bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam,” dan kedua, bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk suatu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.

Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adapt istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum ketika sudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukumoleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di pihak lain, yang berkuasa dalam negara tidak lagi membutuhkan dukungan apa pun. Ia berhak untuk membentuk suatu undang-undang tanpa bantuan dari kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat istiadat.

Henry Sumner Maine (1822 - 1888)

Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny, sehingga ia dianggap sebagai pelopor mazhab sejarah di Inggris. Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah.

Sumbangan Mainebagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak pada penerapan metoda empiris, sistematis, dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemikiran-pemikiran filosof dan spekulatif.

F. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton, kurang tepat dan adapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunaka istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan di atas, Paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum.

Menurut Lili Rasyidi, perbedaan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah merupakan cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbak balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence mengunakan pendekatan hukum ke masyaarakat, sedangkan sosiologi hukum menggunakan pendekatan masyarakat ke hukum.

Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memsihakan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup. Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah.

Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscou Pound.

Eugen Ehrlich (1862 - 1922)

Menurut Ehrlich, hukumpositif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakatdidasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.

Roscou Pound (1870 - 1964)

Poun terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engenering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang hjarus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:

a. Kepentingan umum (public interes);

  1. kepentingan negara sebagai badan hukum;
  2. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.

b. Kepentingan masyarakat (social interes);

  1. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
  2. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
  3. pencegah kemerosotan akhlak;
  4. pencegah pelanggaran hak;
  5. kesejahteraan sosial.

c. Kepentingan pribadi (private interes);

  1. kepentingan individu;
  2. kepentingan keluarga;
  3. kepentingan hak milik.

Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan praktiknya.

Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

G. REALISME HUKUM

Dalam pandangan penganut realisme (para realis),hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil dalam kehidupan. Itulah sebabnya, sangat benar apa yang dikatakan oleh seorang realis yang terkemuka (Llewellyn), bahwa hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.

Karl N. Llewellyn, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sosiologi hukum, menyebutkan beberapa ciri dari Realisme ini, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada mazhab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, tepatnya Llewellyn menyatakan, “Realism is not a philosophy, but a technology…What realism was, and is, is a method nothing more”.

2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Relisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.

3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin karena keinginan-keinginan pengamat atau tujuan-tujuan etis.

4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima definisi peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan”. Sesuai dengan kepercayaan itu, Realisme menggolongkan kasus-kasus ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil daripada yang terdapat dalam praktik di masa lampau.

5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya.

Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.

Sebenarnya Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Realisme Skandinavia ini lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para funsionaris hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Sakndinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.

1. Realisme Amerika

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti diungkapakan oleh John Chipman Gray: semua yang dimaksud dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundangan-perundangan.

Tokoh-tokoh utama Realisme Amerika anatara lain Charles Sanders Pierce, John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr., William James, John Dewey, B.N. Cordozo, dan Jerome Frank.

Charles Sanders Pierce (1839 - 1914)

Menurut Pierce, ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu ilmu pengertian dalam praktik hidup. Bagaimana pengertian tertentu ditanggapi dalam situasi tertentu? Maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah bahwa kata pragmatis dipakai oleh Pierce dalam arti empiris atau eksperimental.

John Chipman Gray (1839 - 1915)

Ia menyatakan bahwa di samping logika sebagai factor penting dalam pembentukkan perundang-undangan, unsur kepribadian, perasangka, dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukkan bagaimana faktor-faktor politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu telah menyelesaikan soal-soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun.

0liver Wendell Holmes, Jr (1841 - 1935)

Menurut Holmes, seorang sarjana hukum harus menghadapai gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun tidak sama sekali menaruh minat pada prinsip-prinsip normatif hukum, sekalipun seharusnya kelakuan mereka diatur menurut prinsip-psrinsip itu.

Ucapan Holmes yang terkena, yang dianggap secara tepat menggambarkan Realisme Hukum Amerika berbunyi, “The prophecies the court will do in fact and nothing morepretentious, are what I mean by the law”. Secara bebas kalimat itu dapat diartikan: perkiraan-perkiraan tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksud dengan hukum.

William James (1842 - 1910)

Menurut James, pragmatisme adalah “nama baru untuk beberapa pemikiran yang sama”, yang sebenarnya juga positivis, ia menyatakan bahwa seorang pragmatis menolak abtarksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, sistem yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang kelengkapan dan kecukupanm, fakta, perbuatan, kekuasaan. Itu berarat sifat memerintah berdasarkan pengalaman, dan sifat melepaskan diri dengan sungguh-sungguh. Itu berart suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari dogma, kepalsuan, dan anggapan final dari kebenaran.

John Dewey (1859 - 1952)

Inti ajaran Dewey adalah, bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari perinsip-perinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemingkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana hanya prinsip umum hanya bias dipakai sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah diterapkan sebelumnya harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Ia mulai dengan keadaan yang penuh problema dan sering membingungkan; proses pembuatannya jelas meliputi persoalan-persoalan tertentu. Dengan penentuan masalahnya, kemungkinan pemecahannya lebih jelas bagi penyidik (seperti hakim). Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta-fakta dalam kasus, ia dapat mengubah pemilihan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan dalam kasus. Premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan adalah dua cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental di mana faktor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yang utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Dewey juga menekankan bahwa penggantian pendekatan ini dengan pendekatan positivisme logia, penting bagi masyarakat. Pemikiran yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya menjadi alat yang tetap, aman, dan masuk akal untuk perbaikan sosial.

Benjamin Nathan Cordozo (1870 - 1938)

Cordozo beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu apabila penganutan terhadap terhadap preseden tidak konsisten denagn rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan, sehingga doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlakdan abadi. Tampaknya dri pendapatnya, bahwa dalam kegiatannya, hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu dengan kepentingan umum.

Cordozo beranggapan, berbagai kekuatan sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukkan hukum, misalnya, logika, sejarah, adat istiadat, kegunaan, dan standar moralitas yang telah diakui. Ia tidak menerima pendapat bahwa hukum suatu lemabagayang tidak mempunyai segi umum dan kesatuan. Sehingga hanya dari unsur-unsur yang terisolasikan atas dasar urutan yang kacau. Cordozo berpendapat, adanya standar-standar yang diakui masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatu tanda adanya kesatuan serta konsistensi dalam hukum, walaupun adanya keputusan-keputusan subjektif dari para hakim tidak dapat dicegah dala suatu kasus yang dihadapi.

Menurut Cordozo, perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adat istiadat dan moralitas. Ia beranggapan, para hakim dan legislator harus senantiasa mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial dalam pembentukkan hukum.

Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cordozo dalam bukunya The Nature of the Judicial Process (1921), harus senantiasa dipergunakan, agar hukum selalu serasi dengan kebutuhan sosial dan cita-cita tertib sosial yang kontemporer. Bagi Cordozo, hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahandalam masyarakat, sedangkan para legislator harus mendapatkan pengetahuan mengenai perubahan dari pengalaman serta studi terhadap kehidupan maupun pencerminannya.

Jerome Frank (1889 - 1957)

Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam aturan tetap, norma-norma hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan putusannya. Ia tidak menyangkal bahwa norma-norma hukum yang berlaku mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah satu unsur pertimbangan saja. Sama dengan Gray, Frang berpendapat, unsur-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipati pribadi, semuanya ikut berperan dalam putusan tersebut. Norma-norma hukum sebaikanya dilukiskan sebagai generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma-norma hukum itu dapat juga diramalkan tentang kelakuan hakim di masa depan, walaupun ramalan ini hanya berlaku dalam batas tertentu.

2. REALISME HUKUM

Tokoh-tokoh utama Realisme Skandinavia antara lain adalah Axel Hagerstrom, Olivecrona, Alf Ross, H.L.A. Hart, Julius Stone, John Rawls.

Axel Hagerstrom (1868 - 1939)

Hagerstrom menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan perasaan psikologis di sini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya..

Karl Olivecrona (1897 - 1980)

Olivecrona (seorang ahli hukum Swedia) menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas (independent imperatives). Menurutnya, adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak ada manusia yang dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum. Ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberian perintah hukum itu dengan negara atau rakyat. Identifikasi demikian merupakan abstraksi yang tidak realistis.

Ketentuan undan-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang berkenaan dengan pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.

Alf Ross (1899 - 1979)

Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.

Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.

H.L.A. HART (1907 - 1992)

Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa, sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.

Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma itu (rule of adjudication).

Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah seperti Groundnorm.

Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.

Julius Stone

Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.

Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.

John Rawls (lahir 1921)

Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.

Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls, dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.

Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas hidup manusia.

Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.

Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua, perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.

H. FREIRECHTSLEHRE

Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Dalam penentangan terhadap Positivisme Hukum itu, Freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika. Hanya saja, jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, Freirechtslehre tidak berhenti sampai di situ.

Aliran ini muncul terutama di Jerman dan merupakan sintesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis. Adapun yang dimaksud dengan ilmu analitis oleh Friedmann adalah aliran yang yang dibawakan antara lain oleh Austin; sedangkan ilmu sosiologis adalah aliran Ehrlich dan Pound.

Freirechtslehre berpendapat, bahwa hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang diciptakan oleh hakim.

Friedmann menyebutkan sejumlah eksponen utama Freirechtslehre, yaitu Ehrlich (1862 - 1922), yang dimasukkan ke dalam aliran Sociological Jurisprudence, Stampe, Ernst Fuchs (1859 - 1922), dan herman Isay.

Dalam bukunya Frei rechtsfindung (1903), Ehrlich mendalilkan hukum secara bebas dalam semua kasus, kecuali untuk kasus-kasus yang hukumnya sudah jelas. Pengecualian ini, menurut Ehrlich, relatif sedikit. Stampe dalam bukunya Freirechtsbewegung (1911), menuntut agar pengadilan berhak untuk mengubah hukum apabila hukum yang ada menghasilkan suatu malapetaka umum (Massenkalamitat). Kemudian, Fuch, mengembangkan ajaran yang sangat kuat dari ciri polotiknya. Dari ajaran-ajarannya dapat disebutkan antara lain ajaran tentang hak untuk menguji keabsahan undang-undang, dan ajaran yang dikembangkan oleh mahkamah agung mengenai resiko bersama antara majikan dan karyawan. Selanjutnya Herman Isay, menolak penemuan hukum berdasarkan suatu proses rasional. Menurutnya, penemuan hukum merupakan suatu proses intuitif yang dituntut oleh perasaan-perasaan dan prasangka-prasangkatertentu, sedangkan alasan logis digantikan sebagai pemikiran sesudahnya untuk proses naluriah itu, dan dipakai untuk meyakinkan akan adanya dunia lain.


[1] David Hume sendiri dalam filsafat dikenal sebagai tokoh empirisme (yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia bukan rasio, melainkan empiri tepatnya pengalaman yang berasal dari pengetahuan inderawi), suatu aliran yang bertentangan dengan rasionalisme.