Minggu, 29 November 2009

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

A. PENGERTIAN STUDI HUKUM KRITIS (CRITICAL LEGAL STUDIES)

Pengertian Studi Hukum Kritis, antara lain dapat kita temukan di dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School. Di dalamnya, antara lain disebutkan:

“Critical Legal Studies (CLS) is a theory that challenges and overturns accepted norms and standards in legal theory and practice. Proponents of this theory believe that logic and structure attributed to the law grow out of the power relationship of the society. The law exists to support the interests of the party or class that forms it and is merely a collection of beliefs and prejudices that legitimize the injustice of society. The wealthy and the powerful use the law as an instrument for oppression in order to maintain their place in hierarchy”

Dari definisi di atas maka dapat dinyatakan bahwa Studi Hukum Kritis adalah teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standard-standard di dalam teori dan praktek yang selama ini telah diterima. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis, Studi Hukum Kritis ialah, suatu penentangan terhadap norma yang dapat menekankan hukum kepada masyarakat, sebab memang nanti pada sub bab selanjutnya dalam sejarah munculnya Studi Hukum Kritis ini muncul pada saat kultur politik yang radikal. Ketika munculnya Studi Hukum Kritis ini maka barulah penolakan-penolakan dan perlawanan-perlawanan terjadi kepada norma-norma yang sebelumnya telah diterima oleh masyarakat

B. SEPUTAR MUNCULNYA GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Gerakan Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahi karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis, dan di beberaoa negara lain. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.

Pada konfrensi Critical Legal Studies tahun 1974 tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in book) dengan hukum dalam prektek (law in action), dan kegagalan hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konfrensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan para ahli hukum sebagai berikut:

• Abel
• Heller
• Horwitz
• Kennedy
• Macaulay
• Rosenblatt
• Trubek
• Tushnet
• Unger

Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam decade 1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan tetapi, dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan Critical Legal Studies juga mengakui keterbatasan dari pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black latter law tersebut.

C. LEGAL REALISME SEBAGAI AKAR STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Dalam membahas tentang studi hukum kritis, oleh Milovanovic seperti yang dikutip oleh Adji Sumekto menuliskan:

“Critical Legal Studies (CLS) was an outgrowth of the critical development of Realism”

Tulisan tersebut menunjukan bahwa studi hukum kritis berakar pada Legal Realism sebagai salah satu aliran yang muncul dalam teori hukum.

Surya Prakash Sinha, menuliskan:
“The philosophical mooring of the (CLS) movement are found in the Critical Theory of the Frankfrut School … an the American Legal Realism.”
Oleh karena itu, bisa dipahami apabila, James Boyle, dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Reason: Critical Legal Theori and Local Social Thought menuliskan

“it is a commonplace that to understand critical legal thought one must first understand legal realism.”

Di dalam tilisan yang berjudul “Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School”, dinyatakan:

“... legal realist rebelled against accepted legal theories of the day and urged more attention to the social context of the law”

Pernyataan ini didukung dengan jelas menunjukkan bahwa ajaran Legal realism bermaksud untuk menentang teori-teori hukum yang pada waktu itu twlh diterima benar adanya sebagaimana dinyatakan oleh Calvin Woodward sebagaimana yang dikutip oleh Adji Sumekto:

“the Teaching of ‘Legal Realist’ of the new deal era, attacked the most sacred precepts of our legal system-that general legal principle (the common law) are embodied in judicial opinions, that by legal analysis the correct or dispositive legal principle can be discovered and that judge apply thos principles dispassionately, free of political bias and personal prejudice… ”

Jadi, Menurut pendapat di atas, ajaran-ajaran dalam legal realisme dimaksud untuk menentang ajaran hukum yang telah dianggap benar yang menganggap bahwa melalui analisis hukum, prinsip-prinsip hukum yang benar dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip hukum yang termuat dalam judicial opinions, di mana hakim menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara tidak memihak (dispassionately), bebas dari bias politik dan penilaian pribadi.

Berdasarkan hal itulah maka legal realism mendorong dilakukannya perhatian yang lebih besar untuk melihat hukum dalam konteks sosial. Oleh karena itu, dasar pijakan analisi dalam ajaran legal realism tetap pada norma atau hukum (positif) yang berlaku, tetapi harus dikembangkan dengan menyertakan faktor ¬extra – legal berupa fakta sosial atau pengalaman hidup, sebagai masukan dalam upaya berfikir yang lebih realistic untuk memfungsikan hukum (positif) tersebut. Dari sinilah hukum tidak lagi dilihat sebagai sarana kontrol sosial, tetapi juga harus digunakan sebgai sarana rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Faktor-faktor extra – legal itu jelas berada di luar wilayah doktrin-doktrin atau norma-norma hukum, sehingga penelitian dan studi-studinya harus memasuki kajian nondoktrinal.

D. KONSEP CRITICAL LEGAL STUDIES

Dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview tersebut dinyatakan:

“… The basic idea of CLS is that the law is politic an it is not neutral or value free. Many in CLS movement wanto to overturn the hierarchical structures of domination in the modern society and many of them have focused on the law as a tool in achieving this goal”

Dengan demikian ide dasar dari Studi Hukum Kritis adalah pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, dalam pandangan Studi Hukum Kritis, hukum di dalam pembuatan, hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, sekalipun dalam liberal legal order dibentuk keyakinan akan kenetralan, objektivitas, dan prediktabilitas dalam hukum.

Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial praktis.

Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Di samping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran studi hukum krutis mengajukan pandanganya sebagai berikut:

1. Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah, yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum netral.

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut Studi Hukum Kritis percaya, bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru “pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif.” Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah “pemikiran yang rasional”. Akan tetapi. Menurut penganut Studi Hukum Kritis, pemikiran rasional itu merupakan cipataan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun verifikasi empiris.

4. Hukum tidak netral
Para penganut Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura, atau percaya secara naïf bahwa dia mengambil putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal, mereka selalu bisa dan selalu dipengaruhi oleh ideologi, legitimasi, dan mistifikasi yang dianutnya untuk memperkuat kelas dominan.

Jadi, pada dasarnya tujuan dari Studi Hukum Kritis adalah untuk menghilangkan halangan atau kendala-kendala yang dialami individu-individu yang berasal dari struktur sosial dan kelas (dalam masyarakat). Dengan hilangnya kendala-kendala itu diharapkan individu-individu itu dapat memberdayakan diri untuk mengembangkan pengertian baru tentang keberadaannya serta dapat secara bebas mengekspresikan pendapatnya.

3 komentar:

  1. bagus sekali ulasannya, tapi alangkah baiknya kalau disertakan juga literatur2 yang menjadi dasar pemikirannya pak...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Analaisis lahirnya studi hukum kritis

    BalasHapus