Senin, 22 April 2013

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENGEMBALIAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP INSTANSI PERBANKAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Oleh: Ichwan Kurnia, SHI., MH. A. PENDAHULUAN Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga kestabilan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional . Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Beberapa peristiwa pada penghujung tahun 1997, diantaranya likuidasi 16 bank yang diikuti dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menurun sehingga penarikan dana dari masyarakat dari sistem perbankan (bank rush) dalam jumlah yang sangat signifikan . Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan nasional merupakan salah satu kunci untuk memelihara stabilitas industri perbankan sehingga krisis tersebut tidak terulang . kepercayaan tersebut dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk meningkatkan kelangsungan usaha bank secara sehat . kelangsungan usaha bank secara sehat dapat menjamin keamanan simpanan para nasabahnya serta meningkatkan peran bank sebagai penyedia dana pembangunan dan pelayanan jasa perbankan . Dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan dilandasi dengan kesadaran begitu pentingnya sandaran hukum mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan) yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, diatur adanya kewajiban setiap bank untuk menjamin dana masyarakat . Sebagaimana terdapat pada Pasal 37 B ayat (1) dan (2) UU Perbankan yang menyebutkan: (1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. (2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Tindak lanjut dari pasal 37 B UU Perbankan adalah pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang bertujuan untuk melaksanakan penjaminan dana masyarakat . Maka dibuatlah Rancangan Undang-Undang LPS yang kemudian di undangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) pada tanggal 22 September 2004 dan mulai berlaku efektif 12 bulan setelah diundangkan yaitu tanggal 22 September 2005 . Dengan berlaku efektifnya UU LPS, maka LPS mulai beroperasi secara penuh sejak tanggal 22 September 2005 , yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang penetapan PERPU No.3 tahun 2008 menjadi undang-undang sebagai langkah selanjutnya dalam memperkuat kepercayaan masyarakat dan stabilitas terhadap dunia perbankan dari adanya ancaman krisis global yang terjadi pada tahun 2008 . Pendirian LPS pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara, bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh nasabahnya, nasabah biasanya menjadi panik dan akan menutup rekeningnya pada bank dimaksud, sekalipun bank tersebut sebenarnya sehat. Sedangkan risiko sistemik terjadi apabila kebangkrutan satu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga menghancurkan sekmen terbesar dari sistem perbankan . Dalam menjalankan tugasnya, LPS diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran Negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard . Dalam rangka terus meningkatkan kepercayaan publik kepada perbankan, peran LPS bukan hanya sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah bank namun juga untuk menjaga stabilitas sistem perbankan . Penjaminan terhadap nasabah bank yang ditanggung oleh pihak LPS adalah sebesar 2.000.000.000.- (dua milyat rupiah) dari seluruh dana termasuk bunga/bagi hasil nasabah yang disimpan di Bank , sebagaimana telah disebut dalam PP No 66 tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, namun sayangnya dalam undang-undang UU LPS atau dalam PP tidak disebutkan jangka waktu terhadap proses penggantian tersebut. Berkenaan dengan penjaminan yang dijaminkan oleh LPS, LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu . B. KEPERCAYAAN NASABAH TERHADAP INDUSTRI PERBANKAN Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat . Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Oleh karenanya, maka dapat dilihat peranan penting yang dimiliki oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masayarakat dan atau dunia usaha . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbankan mempunyai fungsi yang penting dalam perekonomian negara . Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektorsektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan menjaga stabilitas perekonomian suatu negara . Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat, apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi (reputational risk) yang besar. Bank harus selalu dapat menjaga tingkat kepercayaan dari masyarakat (nasabah) agar tetap mau menyimpan dananya di bank maupun menggunakan jasa-jasa perbankan lainnya sehingga nantinya bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa . Untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan tercermin dari keinginan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan perbankan seperti menyimpan atau menginvestasikan uangnya, mendepositokan dan meminjam uang untuk memulai atau memperluas usaha. Peran dan partisipasi dari kalangan masyarakat luas ini merupakan sesuatu yang vital bagi industri perbankan itu sendiri maupun kesejahteraan masyarakat umum secara luas yang pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan . Membangun sebuah kepercayaan merupakan suatu hal yang tidak mudah. Kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh apabila bank bisa membuktikan dirinya sebagai bank yang sehat melalui kemampuan ganda yang dimilikinya, yaitu sebagai penyedia likuiditas dan penyandang dana bagi penyediaan aset jangka panjang. Sebagai penyedia likuiditas, bank harus mampu menyediakan dana bagi nasabah penyimpan setiap saat, dengan catatan penarikan dana tidak dilakukan oleh nasabah penyimpan secara bersama-sama. Apabila nasabah secara bersama-sama menarik dananya, maka bank terpaksa mencairkan aset tidak likuid mereka yang biasanya dengan harga di bawah pasar sehingga menyebabkan kebangkrutan bank yang mana nantinya akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang ada . Adanya kemungkinan terjadinya penarikan secara bersama-sama oleh nasabah secara teoritis dapat dijelaskan karena sulitnya melakukan aksi bersama di antara para nasabah penyimpan dana. Sulitnya untuk memperoleh kesepakatan bersama disebabkan karena sukarnya mengakses informasi tentang kesehatan bank . Kesulitan ini mengakibatkan ada sebagian nasabah yang memiliki informasi yang lebih lengkap daripada nasabah lain mengenai keadaan suatu bank. Sebaliknya, apabila nasabah mampu melakukan kesepakatan tentunya mereka akan mendapatkan keuntungan bersama dengan sepakat untuk tidak melakukan penarikan dana. Akan tetapi dalam situasi dimana terdapat ketidakpastian yang mendorong untuk menarik dana maka dalam situasi panik koordinasi untuk melakukan tindakan bersama menjadi sangat sulit sehingga rush merupakan keputusan yang paling rasional bagi nasabah penyimpan. Hal ini jelas-jelas akan mengakibatkan kebangkrutan bank sekaligus menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan sistem perbankan dan perekonomian . Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan di Indonesia khususnya sebelum ada penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan antara lain yaitu adanya jaminan terselubung atas kelangsungan hidup suatu bank, lemahnya sistem pengawasan, dan liberalisasi yang dilakukan secara tidak berhati-hati. Di samping itu, karakteristik bank yang berbeda-beda dengan perusahaan lainnya juga dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank . Hilangnya kepercayaan masyarakat membawa dampak yang sangat serius bagi kelangsungan usaha bank dan dapat mengakibatkan krisis ekonomi yang parah. Secara lebih rinci faktor-faktor yang mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap bank sebelum berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut : 1. Jaminan Terselubung (Implicit Guarantee) Tidak terdapatnya jaminan secara eksplisit bagi nasabah penyimpan apabila bank dilikuidasi mengakibatkan munculnya jaminan terselubung yang nantinya juga dapat menciptakan moral hazard, yaitu kecenderungan melakukan kegiatan usaha berisiko tinggi. Pada dasarnya, pemilik bank memiliki insentif untuk melakukan kegiatan usaha berisiko tinggi karena semakin besar risiko yang diambil semakin besar pula potensi keuntungan yang akan diperoleh pemilik bank. Sebaliknya, apabila bank mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama oleh nasabah dan pemilik. Kecenderungan melakukan kegiatan penuh risiko lebih diperbesar dengan adanya anggapan bahwa apabila bank mengalami kesulitan maka pemerintah akan turun tangan membantu. Anggapan bahwa pemerintah akan turun tangan membantu bank-bank yang mengalami kesulitan timbul karena belum adanya suatu sistem yang jelas mengenai status dana nasabah apabila bank dilikuidasi. Ketidakjelasan ini tentunya akan berdampak sangat buruk bagi bank yaitu akan menimbulkan bank panic yang mana menyebabkan timbulnya masalah ekonomi yang serius karena bank yang sehatpun dapat bangkrut karena mengalami rush oleh nasabah sehingga dapat menghentikan investasi produktif. Terdapatnya jaminan terselubung dapat diketahui berdasarkan praktik-praktik yang terjadi dimana banyak bank yang dibantu oleh pemerintah apabila megalami kesulitan. Bank-bank yang disebut sebagai too big to fail atau too small to fail ini merupakan lembaga yang menikmati jaminan gratis dari pemerintah. Kebangkrutan bank besar dianggap dapat menimbulkan kekacauan ekonomi dan sosial, sementara itu kebangkrutan bank kecil dapat menyebabkan badan pengawas kehilangan muka, padahal biaya merehabilitasinya tidak begitu besar dan dampaknya terhadap ekonomi dan sosial tidak begitu signifikan, sehingga lembaga pengawas lebih senang memberikan bantuan dibandingkan mencabut ijin usahanya dan kemudian harus menjelaskan kepada masyarakat tentang kelemahan sistem perbankan yang memberikan andil pada kebangkrutan bank tersebut. Dengan kata lain, suatu bank terlalu kecil untuk dibangkrutkan apabila biaya penyelamatannya tidak terlalu mahal sehingga dipandang sebagai biaya yang murah untuk menjaga stabilitas sistem perbankan. 2. Pengawasan Bank Secara fundamental terdapat beberapa alasan tentang tujuan dilakukannya pengawasan terhadap perbankan. FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) merumuskan alasan tersebut sebagai berikut: a. Berkaitan dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem perbankan dan individual bank. Kepercayaan tersebut penting karena sebagai sumber dana, tujuan dasar bank adalah memberikan jasa keuangan. Kehadiran bank yang tidak sehat yang dapat mengancam integritas sistem perbankan harus ditutup melalui evaluasi pemeriksaan terhadap kecukupan modal, kualitas aset, manajemen, posisi likuiditas dan kemampuan pendapatan. b. Pemeriksaan langsung secara berkala merupakan langkah terbaik untuk menentukan ketaatan bank terhadap ketentuan. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan secara tradisional merupakan prioritas utama bagi pengawas. c. Proses pemeriksaan dapat membantu mencegah masalah yang tidak dapat diperbaiki dan yang semakin memburuk, sehingga biaya penyelamatan atau pembayaran terhadap nasabah penyimpan menjadi sangat besar. d. Pemeriksaan dapat memberikan masukan kepada pengawas tentang bentuk, tingkat keseriusan dan akibat dari suatu masalah bagi bank dan memberikan fakta dasar bagi langkah-langkah perbaikan yang tepat, rekomendasi dan perintah. Dengan demikian, pemeriksaan memainkan peranan kunci dalam proses pengawasan itu sendiri. Integritas dan keefektifan proses pemeriksaan bergantung kepada kebebasan pemeriksa dari pengaruh pertimbangan politik. Di samping itu, dalam proses pemeriksaan hubungan antara pemeriksa dengan bank harus didasarkan kepada adanya kerjasama. Yang paling utama dalam kerjasama tersebut adalah bank harus bersikap jujur dan terbuka. Hal inilah yang masih belum maksimal dimiliki industri perbankan di Indonesia yang mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Selain itu, kualitas serta moral pemeriksa dan yang diperiksa masih menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat. 3. Lemahnya Kemampuan Manajerial Pengurus Bank Mudahnya terjadi kejahatan dalam perbankan merupakan salah satu penyebab rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Kejahatan orang dalam (insider) pada perbankan sangat sulit diawasi dan alat pengawasannya juga lebih lemah dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh perusahaan industri. Hal tersebut tercermin dalam pepatah the best way to rob a bank is to own one. Adapun bentukbentuk kejahatan yang lazim dilakukan oleh pengurus bank antara lain adalah sebagai berikut: a. Kecurangan (Fraud) dan kecurangan oleh orang dalam (Self-dealing); b. Insider Abuse (penyalahgunaan wewenang oleh orang dalam). 4. Liberalisasi Perbankan yang Tidak Berhati-hati Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan akibat liberalisasi perbankan yang tidak berhati-hati disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Meningkatnya pembukaan bank baru dan pembebasan metode penghimpunan dana melalui suku bunga dan instrumen baru dapat mengarah kepada pengambilan risiko yang berlebihan apabila kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan peraturan dan pengawasan yang berhati-hati. Liberalisasi juga memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepat, sehingga memberi peluang untuk masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam bisnis perbankan. b. Sistem dan struktur kelembagaan perbankan yang dihasilkan oleh perubahan regulasi dapat mengakibatkan konsentrasi kekuasaan pada perbankan dan menciptakan kepemilikan silang. Dengan demikian terbuka kemungkinan dimilikinya satu bank secara mayoritas mutlak. Lingkungan yang demikian sangat rawan terhadap munculnya moral hazard. c. Liberalisasi dapat menjurus kepada meningkatnya suku bunga apabila ekspektasi yang berlebihan dibarengi dengan struktur kewajiban (liabilities) perusahaan yang tidak sehat dapat mengakibatkan tajamnya peningkatan permintaan kredit. Dengan ratio utang/modal yang tinggi, suatu peningkatan awal dari suku bunga riil dapat mengarah kepada kredit bermasalah. d. Seiring dengan liberalisasi suku bunga, penguasa akan kekurangan instrumen pengendalian moneter yang cukup untuk mempengaruhi suku bunga atau menyerah dan bergantung pada kepercayaan yang keliru bahwa suku bunga domestik dengan sendirinya mendekati suku bunga internasional. e. Lembaga pengawas tidak siap berurusan dengan sistem keuangan yang beroperasi secara lebih bebas dibandingkan sebelumnya sehingga pengawasan yang dilakukan tidak maksimal. C. KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. Ayat (2) pasal ini menyebutkan, LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. Kemudian ayat (3) menerangkan, LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Selanjutnya ayat (4) menyatakan, LPS bertanggungjawab kepada Presiden. Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyebutkan fungsi LPS adalah: a. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, LPS mempunyai tugas: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan b. melaksanakan penjaminan simpanan. Ayat (2) pasal ini menjelaskan, dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyebutkan, seluruh biaya penyelamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a. Ayat (2) menentukan, penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Ayat (3) menerangkan, tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Kemudian ayat (4) menyebutkan, dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. Selanjutnya ayat (5) pasal ini menyatakan, dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. Dapat disimpulkan LPS paling lama 5 (lima) tahun harus melepaskan sahamnya kepada pihak lain atau kepada publik melalui pasar modal. Menurut Erman Rajagukguk modal awal LPS dan kekayaan LPS merupakan asset negara yang dipisahkan (Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan) bukanlah merupakan keuangan negara lagi. Sama dengan mendirikan Perseroan Terbatas (P.T.). Kalau si A menyetorkan modal berupa tanah yang telah dipisahkan dari kekayaan si A, ketika P.T. sudah berstatus Badan Hukum, si A tidak bisa menyatakan tanah tersebut adalah milik si A lagi. Tanah tersebut yang menjadi modal P.T. adalah tanah kekayaan P.T. sebagai Badan Hukum. Bila P.T. mendapat uang dari hasil usahanya, tidak bisa si A mengatakan uang itu milik si A. Kalau P.T. mendapat keuntungan, baru si A mendapat dividen sebesar proporsi saham si A. Begitu juga LPS yang mendapat premi dari penjaminan simpanan nasabah pada bank-bank yang ikut serta dalam program penjaminan LPS, premi tersebut adalah uang LPS bukan uang negara . Uang negara adalah kewajiban pajak yang harus dibayar oleh LPS dan bagian surplus yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 83 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menentukan : (1) Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun dialokasikan sebagai berikut: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk cadangan tujuan; b. 80% (delapan puluh perseratus) diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan. (2) Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu) dari total Simpanan pada seluruh bank, bagian surplus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Angga Handian Putra yang menyatakan bahwa LPS adalah badan hukum berdasarkan UU LPS, oleh karena LPS sebuah badan hukum, maka LPS memiliki kekayaan yang terpisah dari pemiliknya dan menjalankan usaha. Kekayaan LPS sendiri untuk modal awal merupakan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak berbentuk saham. Maksud dari kekayaan yang dipisahkan adalah bahwa kekayaan LPS terpisah pengelolaan dan pertanggungjawabannya keuangan dari sistem APBN. Kekayaan LPS per 31 Juli 2009 sebesar Rp18 triliun, yang Rp14 triliun diantaranya berasal dari premi bank peserta penjaminan dan hasil investasi. Sedangkan yang Rp 4 triliun merupakan modal awal LPS yang merupakan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan Negara. Investasi yang dilakukan oleh LPS merupakan suatu usaha yang dilakukan LPS untuk meningkatkan kekayaan atau mencari keuntungan. Apabila kita lihat, LPS yang dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Deposit Insurance Corporation, menurut Angga Handian Putra bahwa LPS adalah suatu perusahaan asuransi di bidang penjaminan tabungan nasabah. Seperti halnya di Negara-negara yang menganut sistem common law, yang merupakan asal dari sistem penjaminan ini, LPS merupakan perusahaan asuransi. Dalam pemisahan kekayaan Negara yang kemudian menjadi modal awal LPS, terjadi suatu transformasi hukum keuangan Negara menjadi keuangan/kekayaan LPS. Kemudian ketentuan Pasal 83 Ayat (2) bahwa: “Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu) dari total Simpanan pada seluruh bank, bagian surplus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam hal bahwa LPS menyetorkan PNBP kepada Negara, terjadi transformasi hukum keuangan/kekayaan LPS menjadi keuangan Negara. Proses Taransformasi ini dapat dilihat pada diagram proses transformasi keuangan Negara menjadi keuangan LPS sebagai badan hukum. Apabila dilihat dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPS dalam menjamin simpanan, dan mencari keuntungan, maka dapat dinyatakan bahwa LPS adalah suatu badan usaha yang berbentuk badan hukum, hal tersebut karena ada sebuah doktrin badan hukum yaitu“kekayaan bertujuan”, artinya kekayaan badan hukum terpisah dari pemilik dan anggotanya dengan tujuan mencari keuntungan . Pendapat lainnya dikemukakan oleh Eusebius bahwa pengertian badan hukum bisa bersifat perdata dan bisa pula bersifat publik. Dalam hukum perdata dan dilihat dari pendiriannya, ada tiga macam badan hukum, yakni : (1) Badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara); (2) Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum; dan (3) Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan). Dengan teori hukum tersebut di atas, LPS merupakan badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum. Karena pendiriannya dilakukan oleh penguasa dengan Undang-Undang No. 24/2004. Sehingga, LPS termasuk dalam badan hukum publik. Kalau berdasarkan teori-teori hukum yang berkembang di ahli hukum Jerman, suatu badan hukum yang bersifat publik, jika badan hukum itu dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, maka badan hukum tersebut dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut (wewenang). Dan berdasarkan Undang-Undang No. 24/2004, LPS diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum . Menurut Soenawar Soekowati sebagaimana dikutip oleh Eusebius, badan hukum yang didirikan dengan konstruksi hukum publik, belum tentu merupakan badan hukum publik dan juga belum tentu mempunyai wewenang publik. Sebaliknya juga, badan hukum yang didirikan oleh orang-orang swasta, dalam stelsel hukum tertentu mempunyai kewenangan publik. Jadi untuk dapat memecahkan masalah tersebut, dalam stelsel hukum Indonesia dapat digunakan kriteria, yaitu : 1. dilihat dari cara pendiriannya atau terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; 2. lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum public; 3. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik. Jika berangkat dari kriteria diatas, LPS merupakan LEMBAGA POLITIK (pemerintah atau negara) yang berstatus sebagai badan hukum, karena: (1) LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa dengan UU No. 24/2004; (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang di atur dalam UU No. 24 Tahun 2004, LPS diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 24/2004, LPS dalam melaksanakan tugasnya mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan. Pasal 1 angka 8 UU No.24/2004, Penjaminan Simpanan Nasabah Bank, yang selanjutnya disebut Penjaminan, adalah penjaminan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas simpanan nasabah bank. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh LPS tidak dimiliki oleh badan hukum publik lainnya. Dan penetapan besarnya premi itu sendiri mengikat secara publik. Hal ini semakin membuktikan, LPS adalah lembaga pemerintah/negara yang mempunyai status badan hukum publik. Jadi uang negara yang dipungut LPS adalah Uang Negara. Sehingga termasuk ruang lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertangggungjawabkan kepada negara. Menurut Erman Rajagukguk , Kekaburan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh definisi keuangan Negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan : “Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.” Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan : “Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas. Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14 Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan : “Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU BUMN.” Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam Komisi XI DPR karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 24 Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2 ayat g UU Keuangan Negara. Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam fatwanya No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006, menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian dapat diartikan Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara. Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan : 1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” Pasat 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”; 2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat; 3. Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”; Bahwa oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara; 4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara, Perusahan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persedian, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya” Selanjutnya, Pasal 12 ayat (1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan badan-badan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960; 5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berbunyi : Keuangan Negara sebaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” Dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum; 6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. D. Premi yang disetor pada LPS Permintaan yang diajukan oleh kalangan perbankan mengenai premi yang mereka bayar kepada LPS sebagai peserta program penjamin agar dikembalikan jika tidak terjadi klaim. praktik seperti ini lazim dilakukan dalam bisnis asuransi, bahkan digunakan sebagai alat marketing. Peserta asuransi akan menerima kembali sebagian premi yang dibayar apabila dalam periode pertanggungan tidak mengajukan klaim pertanggungan. apakah praktik seperti ini dapat diberlakukan pula pada LPS sebagai lembaga penjamin simpanan nasabah. Pada dasarya LPS bukanlah asuransi. Secara popular, program yang penjaminan yang dilaksanakan LPS adalah deposit insurance. Istlah deposit insurance pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1933 sewaktu mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai lembaga yang menjamin dana nasabah bank apabila bank dilikuidasi. Istilah deposit insurance masuk ke Indonesia melalui undang-undang No. 3 tahun 1986 tentang Bank Sentral dengan terjemahan asuransi deposito. Terjemahan tersebut mengalami dua kekeliruan: pertama, deposit tidak identik dengan deposito, terjemahan yang tepat untuk deposit adalah simpanan sedangkan deposito adalah salah satu bentuk simpanan selain giro dan tabungan; kedua, insurance bukan merupakan asuransi sebagaimana yang diterjemahkan dalam KUHD atau Undang-Undang No. 2 tahun 1992 tentang Peransuransian. Insuance lebih tepat diterjemahkan dengan jaminan. Deposit insurance atau jaminan simpanan adalah jaminan yang diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh penyelenggara penjaminan. Tujuan pemberian jaminan tersebut bukan semata-mata menjamin individual nasabah. Penjamin simpanan bertujuan menjaga keutuhan sistem perbankan secara keseluruhan. Kehadiran LPS. bersama-sama dengan ketentuan kehati-hatian, pengawasan dan leader of trust resort dipercaya dapat memperkuat sistem perbankan. Tujuan tersebut akan tercapai apabila lembaga penjamin simpanan tersebut dipercaya oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh besarnya cadangan dana yang dimiliki lembaga tersebut yang nantinya digunakan untuk membayar simpanan masyarakat sampai jumlah tertentu apabila bank dilikuidasi. Dengan adanya jaminan ini, maka premi yang dibayar oleh bank tidak mungkin dikembalikan karena harus dihimpun sebagai cadangan yang diperlukan apabila ada bank yang bangkrut . Dalam kaitan ini, terdapat dua cara dalam mentapkan premi, yaitu sistem flate rate dan risk-based premium. Saat ini sistem yang digunakan LPS adalah sistem flat rate . Sistem ini mengandung kelemahan karena dipercaya dapat menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan risiko dalam portofolio mereka. Pelaku pasar normalnya dihadapkan pada risk-return trade-off; keuntungan yang besar hanya dapat diperoleh dari risiko yang tinggi. Oleh sebab itu, banyak negara yang beralih dari sistem flat-rate ke sistem risk based premium. Pada tahun 1995 hanya dua Negara yang menerapkan sistem ini, pada tahun 1999 sepertiga dari 72 negara beralih ke sistem risk based premium. Penetapan premi berdasarkan risiko ini didasarkan pada teori premi variable yang dipinjam dari teori tradisional moral hazard yang mengajarkan bahwa moral hazard dapat diatasi dengan menetapkan harga premi yang berbeda bagi masing-masing bank tergantung dari risiko yang dihadapi oleh bank tersebut . Penilaian premi berdasarkan risiko yang dilakukan oleh FDIC, utamanya didasarkan kepada ukuran risiko secara ex-post. Bank yang melakukan kegiatan berisiko tinggi dikenakan premi lebih besar apabila kegiatan berisiko tinggi tersebut dapat mengakibatkan kerugian. Peralihan dari sistem flat-rate menjadi risk-based atau disebut juga risk-adjusted premium dilakukan oleh FDIC sejak tahun 1994 dengan dikeluarkannya Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act of 1991. Sistem ini mendasarkan perhitungan risiko pada: (1) kemungkinan kerugian yang ditanggung oleh dana asuransi dengan mempertimbangkan risiko yang diakibatkan oleh kategori dan konsentrasi yang berbeda dari kekayaan (asset) dan kewajiban (liabilities) dan faktor lain berdasarkan kewenangan FDIC; (2) kemungkinan jumlah kerugian apabila terjadi; dan (3) kebutuhan dana bagi lembaga penjamin simpanan (revenue needs of deposit insurance fund). Faktor lain yang dapat dipertimbangkan adalah risiko suku bunga, risiko kredit, risiko operasional, risiko penipuan atau kejahatan orang dalam (insider abuse). Penilaian tingkat kesehatan yang menggunakan sistem CAMEL dalam mengukur risiko yang dihadapi bank ditolak oleh FDIC. CAMEL digunakan oleh pengawas bank dalam menilai kualitas modal (capital), aset (asset quality), manajemen (management), pendapatan (earnings) dan likuiditas (liquidity) . Menurut FDIC sistem ini terlalu mahal untuk diterapkan karena (1) dibutuhkan pemeriksaan tahunan; (2) terlalu bergantung pada subjektifitas penilai; dan (3) keterkaitan antara peringkat CAMEL dengan premi dapat menciptakan hubungan yang tidak baik antara pengawas dan bank yang dapat merusak kepercayaan terdapat peringkat tersebut . Sistem pengawasan berdasarkan risiko (risk-based supervision) sebagai penyempurnaan sistem CAMEL yang mulai diterapkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan bank, kiranya dapat membantu mekanisme penetapan premi asurasi simpanan. Sistem pengawasan ini dibentuk mengingat semakin beragamnya produk yang ditawarkan bank. Produk yang ditawarkan tersebut tidak siap ditangkap dalam faktor-faktor yang dinilai melalui sistem CAMEL. Berdasar risk-base supervision risiko yang dinilai diperluas yang meliputi faktor modal (capital), kualitas aset (asset qualities), risiko pasar (market risk), pendapatan (earnings), kewajiban (liabilities), bisnis (business), pengendalian intern (control), organisasi (organization) dan manajemen (management). Namun demikian, sistem premi berdasarkan risiko hanya dapat diimplementasikan apabila sistem pengawasan dan laporan yang disusun bank telah dapat dipercaya. Sebelum hal tersebut dapat dicapai sebaiknya sistem flat-rate yang diterapkan. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya ketidak adilan dalam menetapkan premi yang disebabkan karena masih lemahnya sistem penilaian risiko yang dilakukan . Apabila LPS telah menggunakan risk base premium, maka permintaan perbankan syariah dapat dipenuhi dalam artian bank syariah yang sehat membayar premi lebih rendah dibandingkan bank syariah yang tidak sehat. Di Amerika Serikat bank sehat tidak diwajibkan membayar premi kepada FDIC karena jumlah dana yang dihimpun FDIC dianggap sudah cukup untuk menjamin simpanan masyarakat pada idustri perbankan. Praktik seperti ini tidak dimungkinkan di Indonesia karena tidak dibolehkan oleh UU LPS meski dana yang dihimpun LPS sudah cukup . E. Kesimpulan Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sebagai lembaga penjamin dana nasabah perbankan, memang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembalikan kepercayaan nasabah terhadap industry perbankan. Membangun sebuah kepercayaan merupakan suatu hal yang tidak mudah. Kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh apabila bank dapat membuktikan dirinya sebagai bank yang sehat melalui kemampuan ganda yang dimilikinya, yaitu sebagai penyedia likuiditas dan penyandang dana bagi penyediaan aset jangka panjang. Eksistensi dan efektifitas LPS harus dimunculkan kepermukaan, agar kepercayaan yang selama ini memudar dari para masyarakat (nasabah) kepada industry perbankan kembali menguat. Dengan demikian industri perbankan dapat menjadi central of economic dan alat stabilitas moneter dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.