Senin, 22 April 2013

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENGEMBALIAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP INSTANSI PERBANKAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Oleh: Ichwan Kurnia, SHI., MH. A. PENDAHULUAN Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga kestabilan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional . Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Beberapa peristiwa pada penghujung tahun 1997, diantaranya likuidasi 16 bank yang diikuti dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menurun sehingga penarikan dana dari masyarakat dari sistem perbankan (bank rush) dalam jumlah yang sangat signifikan . Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan nasional merupakan salah satu kunci untuk memelihara stabilitas industri perbankan sehingga krisis tersebut tidak terulang . kepercayaan tersebut dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk meningkatkan kelangsungan usaha bank secara sehat . kelangsungan usaha bank secara sehat dapat menjamin keamanan simpanan para nasabahnya serta meningkatkan peran bank sebagai penyedia dana pembangunan dan pelayanan jasa perbankan . Dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan dilandasi dengan kesadaran begitu pentingnya sandaran hukum mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan) yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, diatur adanya kewajiban setiap bank untuk menjamin dana masyarakat . Sebagaimana terdapat pada Pasal 37 B ayat (1) dan (2) UU Perbankan yang menyebutkan: (1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. (2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Tindak lanjut dari pasal 37 B UU Perbankan adalah pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang bertujuan untuk melaksanakan penjaminan dana masyarakat . Maka dibuatlah Rancangan Undang-Undang LPS yang kemudian di undangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) pada tanggal 22 September 2004 dan mulai berlaku efektif 12 bulan setelah diundangkan yaitu tanggal 22 September 2005 . Dengan berlaku efektifnya UU LPS, maka LPS mulai beroperasi secara penuh sejak tanggal 22 September 2005 , yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang penetapan PERPU No.3 tahun 2008 menjadi undang-undang sebagai langkah selanjutnya dalam memperkuat kepercayaan masyarakat dan stabilitas terhadap dunia perbankan dari adanya ancaman krisis global yang terjadi pada tahun 2008 . Pendirian LPS pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara, bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh nasabahnya, nasabah biasanya menjadi panik dan akan menutup rekeningnya pada bank dimaksud, sekalipun bank tersebut sebenarnya sehat. Sedangkan risiko sistemik terjadi apabila kebangkrutan satu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga menghancurkan sekmen terbesar dari sistem perbankan . Dalam menjalankan tugasnya, LPS diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran Negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard . Dalam rangka terus meningkatkan kepercayaan publik kepada perbankan, peran LPS bukan hanya sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah bank namun juga untuk menjaga stabilitas sistem perbankan . Penjaminan terhadap nasabah bank yang ditanggung oleh pihak LPS adalah sebesar 2.000.000.000.- (dua milyat rupiah) dari seluruh dana termasuk bunga/bagi hasil nasabah yang disimpan di Bank , sebagaimana telah disebut dalam PP No 66 tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, namun sayangnya dalam undang-undang UU LPS atau dalam PP tidak disebutkan jangka waktu terhadap proses penggantian tersebut. Berkenaan dengan penjaminan yang dijaminkan oleh LPS, LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu . B. KEPERCAYAAN NASABAH TERHADAP INDUSTRI PERBANKAN Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat . Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Oleh karenanya, maka dapat dilihat peranan penting yang dimiliki oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masayarakat dan atau dunia usaha . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbankan mempunyai fungsi yang penting dalam perekonomian negara . Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektorsektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan menjaga stabilitas perekonomian suatu negara . Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat, apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi (reputational risk) yang besar. Bank harus selalu dapat menjaga tingkat kepercayaan dari masyarakat (nasabah) agar tetap mau menyimpan dananya di bank maupun menggunakan jasa-jasa perbankan lainnya sehingga nantinya bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa . Untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan tercermin dari keinginan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan perbankan seperti menyimpan atau menginvestasikan uangnya, mendepositokan dan meminjam uang untuk memulai atau memperluas usaha. Peran dan partisipasi dari kalangan masyarakat luas ini merupakan sesuatu yang vital bagi industri perbankan itu sendiri maupun kesejahteraan masyarakat umum secara luas yang pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan . Membangun sebuah kepercayaan merupakan suatu hal yang tidak mudah. Kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh apabila bank bisa membuktikan dirinya sebagai bank yang sehat melalui kemampuan ganda yang dimilikinya, yaitu sebagai penyedia likuiditas dan penyandang dana bagi penyediaan aset jangka panjang. Sebagai penyedia likuiditas, bank harus mampu menyediakan dana bagi nasabah penyimpan setiap saat, dengan catatan penarikan dana tidak dilakukan oleh nasabah penyimpan secara bersama-sama. Apabila nasabah secara bersama-sama menarik dananya, maka bank terpaksa mencairkan aset tidak likuid mereka yang biasanya dengan harga di bawah pasar sehingga menyebabkan kebangkrutan bank yang mana nantinya akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang ada . Adanya kemungkinan terjadinya penarikan secara bersama-sama oleh nasabah secara teoritis dapat dijelaskan karena sulitnya melakukan aksi bersama di antara para nasabah penyimpan dana. Sulitnya untuk memperoleh kesepakatan bersama disebabkan karena sukarnya mengakses informasi tentang kesehatan bank . Kesulitan ini mengakibatkan ada sebagian nasabah yang memiliki informasi yang lebih lengkap daripada nasabah lain mengenai keadaan suatu bank. Sebaliknya, apabila nasabah mampu melakukan kesepakatan tentunya mereka akan mendapatkan keuntungan bersama dengan sepakat untuk tidak melakukan penarikan dana. Akan tetapi dalam situasi dimana terdapat ketidakpastian yang mendorong untuk menarik dana maka dalam situasi panik koordinasi untuk melakukan tindakan bersama menjadi sangat sulit sehingga rush merupakan keputusan yang paling rasional bagi nasabah penyimpan. Hal ini jelas-jelas akan mengakibatkan kebangkrutan bank sekaligus menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan sistem perbankan dan perekonomian . Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan di Indonesia khususnya sebelum ada penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan antara lain yaitu adanya jaminan terselubung atas kelangsungan hidup suatu bank, lemahnya sistem pengawasan, dan liberalisasi yang dilakukan secara tidak berhati-hati. Di samping itu, karakteristik bank yang berbeda-beda dengan perusahaan lainnya juga dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank . Hilangnya kepercayaan masyarakat membawa dampak yang sangat serius bagi kelangsungan usaha bank dan dapat mengakibatkan krisis ekonomi yang parah. Secara lebih rinci faktor-faktor yang mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap bank sebelum berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut : 1. Jaminan Terselubung (Implicit Guarantee) Tidak terdapatnya jaminan secara eksplisit bagi nasabah penyimpan apabila bank dilikuidasi mengakibatkan munculnya jaminan terselubung yang nantinya juga dapat menciptakan moral hazard, yaitu kecenderungan melakukan kegiatan usaha berisiko tinggi. Pada dasarnya, pemilik bank memiliki insentif untuk melakukan kegiatan usaha berisiko tinggi karena semakin besar risiko yang diambil semakin besar pula potensi keuntungan yang akan diperoleh pemilik bank. Sebaliknya, apabila bank mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama oleh nasabah dan pemilik. Kecenderungan melakukan kegiatan penuh risiko lebih diperbesar dengan adanya anggapan bahwa apabila bank mengalami kesulitan maka pemerintah akan turun tangan membantu. Anggapan bahwa pemerintah akan turun tangan membantu bank-bank yang mengalami kesulitan timbul karena belum adanya suatu sistem yang jelas mengenai status dana nasabah apabila bank dilikuidasi. Ketidakjelasan ini tentunya akan berdampak sangat buruk bagi bank yaitu akan menimbulkan bank panic yang mana menyebabkan timbulnya masalah ekonomi yang serius karena bank yang sehatpun dapat bangkrut karena mengalami rush oleh nasabah sehingga dapat menghentikan investasi produktif. Terdapatnya jaminan terselubung dapat diketahui berdasarkan praktik-praktik yang terjadi dimana banyak bank yang dibantu oleh pemerintah apabila megalami kesulitan. Bank-bank yang disebut sebagai too big to fail atau too small to fail ini merupakan lembaga yang menikmati jaminan gratis dari pemerintah. Kebangkrutan bank besar dianggap dapat menimbulkan kekacauan ekonomi dan sosial, sementara itu kebangkrutan bank kecil dapat menyebabkan badan pengawas kehilangan muka, padahal biaya merehabilitasinya tidak begitu besar dan dampaknya terhadap ekonomi dan sosial tidak begitu signifikan, sehingga lembaga pengawas lebih senang memberikan bantuan dibandingkan mencabut ijin usahanya dan kemudian harus menjelaskan kepada masyarakat tentang kelemahan sistem perbankan yang memberikan andil pada kebangkrutan bank tersebut. Dengan kata lain, suatu bank terlalu kecil untuk dibangkrutkan apabila biaya penyelamatannya tidak terlalu mahal sehingga dipandang sebagai biaya yang murah untuk menjaga stabilitas sistem perbankan. 2. Pengawasan Bank Secara fundamental terdapat beberapa alasan tentang tujuan dilakukannya pengawasan terhadap perbankan. FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) merumuskan alasan tersebut sebagai berikut: a. Berkaitan dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem perbankan dan individual bank. Kepercayaan tersebut penting karena sebagai sumber dana, tujuan dasar bank adalah memberikan jasa keuangan. Kehadiran bank yang tidak sehat yang dapat mengancam integritas sistem perbankan harus ditutup melalui evaluasi pemeriksaan terhadap kecukupan modal, kualitas aset, manajemen, posisi likuiditas dan kemampuan pendapatan. b. Pemeriksaan langsung secara berkala merupakan langkah terbaik untuk menentukan ketaatan bank terhadap ketentuan. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan secara tradisional merupakan prioritas utama bagi pengawas. c. Proses pemeriksaan dapat membantu mencegah masalah yang tidak dapat diperbaiki dan yang semakin memburuk, sehingga biaya penyelamatan atau pembayaran terhadap nasabah penyimpan menjadi sangat besar. d. Pemeriksaan dapat memberikan masukan kepada pengawas tentang bentuk, tingkat keseriusan dan akibat dari suatu masalah bagi bank dan memberikan fakta dasar bagi langkah-langkah perbaikan yang tepat, rekomendasi dan perintah. Dengan demikian, pemeriksaan memainkan peranan kunci dalam proses pengawasan itu sendiri. Integritas dan keefektifan proses pemeriksaan bergantung kepada kebebasan pemeriksa dari pengaruh pertimbangan politik. Di samping itu, dalam proses pemeriksaan hubungan antara pemeriksa dengan bank harus didasarkan kepada adanya kerjasama. Yang paling utama dalam kerjasama tersebut adalah bank harus bersikap jujur dan terbuka. Hal inilah yang masih belum maksimal dimiliki industri perbankan di Indonesia yang mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Selain itu, kualitas serta moral pemeriksa dan yang diperiksa masih menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat. 3. Lemahnya Kemampuan Manajerial Pengurus Bank Mudahnya terjadi kejahatan dalam perbankan merupakan salah satu penyebab rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Kejahatan orang dalam (insider) pada perbankan sangat sulit diawasi dan alat pengawasannya juga lebih lemah dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh perusahaan industri. Hal tersebut tercermin dalam pepatah the best way to rob a bank is to own one. Adapun bentukbentuk kejahatan yang lazim dilakukan oleh pengurus bank antara lain adalah sebagai berikut: a. Kecurangan (Fraud) dan kecurangan oleh orang dalam (Self-dealing); b. Insider Abuse (penyalahgunaan wewenang oleh orang dalam). 4. Liberalisasi Perbankan yang Tidak Berhati-hati Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan akibat liberalisasi perbankan yang tidak berhati-hati disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Meningkatnya pembukaan bank baru dan pembebasan metode penghimpunan dana melalui suku bunga dan instrumen baru dapat mengarah kepada pengambilan risiko yang berlebihan apabila kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan peraturan dan pengawasan yang berhati-hati. Liberalisasi juga memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepat, sehingga memberi peluang untuk masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam bisnis perbankan. b. Sistem dan struktur kelembagaan perbankan yang dihasilkan oleh perubahan regulasi dapat mengakibatkan konsentrasi kekuasaan pada perbankan dan menciptakan kepemilikan silang. Dengan demikian terbuka kemungkinan dimilikinya satu bank secara mayoritas mutlak. Lingkungan yang demikian sangat rawan terhadap munculnya moral hazard. c. Liberalisasi dapat menjurus kepada meningkatnya suku bunga apabila ekspektasi yang berlebihan dibarengi dengan struktur kewajiban (liabilities) perusahaan yang tidak sehat dapat mengakibatkan tajamnya peningkatan permintaan kredit. Dengan ratio utang/modal yang tinggi, suatu peningkatan awal dari suku bunga riil dapat mengarah kepada kredit bermasalah. d. Seiring dengan liberalisasi suku bunga, penguasa akan kekurangan instrumen pengendalian moneter yang cukup untuk mempengaruhi suku bunga atau menyerah dan bergantung pada kepercayaan yang keliru bahwa suku bunga domestik dengan sendirinya mendekati suku bunga internasional. e. Lembaga pengawas tidak siap berurusan dengan sistem keuangan yang beroperasi secara lebih bebas dibandingkan sebelumnya sehingga pengawasan yang dilakukan tidak maksimal. C. KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. Ayat (2) pasal ini menyebutkan, LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. Kemudian ayat (3) menerangkan, LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Selanjutnya ayat (4) menyatakan, LPS bertanggungjawab kepada Presiden. Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyebutkan fungsi LPS adalah: a. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, LPS mempunyai tugas: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan b. melaksanakan penjaminan simpanan. Ayat (2) pasal ini menjelaskan, dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyebutkan, seluruh biaya penyelamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a. Ayat (2) menentukan, penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Ayat (3) menerangkan, tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Kemudian ayat (4) menyebutkan, dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. Selanjutnya ayat (5) pasal ini menyatakan, dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. Dapat disimpulkan LPS paling lama 5 (lima) tahun harus melepaskan sahamnya kepada pihak lain atau kepada publik melalui pasar modal. Menurut Erman Rajagukguk modal awal LPS dan kekayaan LPS merupakan asset negara yang dipisahkan (Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan) bukanlah merupakan keuangan negara lagi. Sama dengan mendirikan Perseroan Terbatas (P.T.). Kalau si A menyetorkan modal berupa tanah yang telah dipisahkan dari kekayaan si A, ketika P.T. sudah berstatus Badan Hukum, si A tidak bisa menyatakan tanah tersebut adalah milik si A lagi. Tanah tersebut yang menjadi modal P.T. adalah tanah kekayaan P.T. sebagai Badan Hukum. Bila P.T. mendapat uang dari hasil usahanya, tidak bisa si A mengatakan uang itu milik si A. Kalau P.T. mendapat keuntungan, baru si A mendapat dividen sebesar proporsi saham si A. Begitu juga LPS yang mendapat premi dari penjaminan simpanan nasabah pada bank-bank yang ikut serta dalam program penjaminan LPS, premi tersebut adalah uang LPS bukan uang negara . Uang negara adalah kewajiban pajak yang harus dibayar oleh LPS dan bagian surplus yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 83 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menentukan : (1) Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun dialokasikan sebagai berikut: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk cadangan tujuan; b. 80% (delapan puluh perseratus) diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan. (2) Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu) dari total Simpanan pada seluruh bank, bagian surplus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Angga Handian Putra yang menyatakan bahwa LPS adalah badan hukum berdasarkan UU LPS, oleh karena LPS sebuah badan hukum, maka LPS memiliki kekayaan yang terpisah dari pemiliknya dan menjalankan usaha. Kekayaan LPS sendiri untuk modal awal merupakan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak berbentuk saham. Maksud dari kekayaan yang dipisahkan adalah bahwa kekayaan LPS terpisah pengelolaan dan pertanggungjawabannya keuangan dari sistem APBN. Kekayaan LPS per 31 Juli 2009 sebesar Rp18 triliun, yang Rp14 triliun diantaranya berasal dari premi bank peserta penjaminan dan hasil investasi. Sedangkan yang Rp 4 triliun merupakan modal awal LPS yang merupakan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan Negara. Investasi yang dilakukan oleh LPS merupakan suatu usaha yang dilakukan LPS untuk meningkatkan kekayaan atau mencari keuntungan. Apabila kita lihat, LPS yang dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Deposit Insurance Corporation, menurut Angga Handian Putra bahwa LPS adalah suatu perusahaan asuransi di bidang penjaminan tabungan nasabah. Seperti halnya di Negara-negara yang menganut sistem common law, yang merupakan asal dari sistem penjaminan ini, LPS merupakan perusahaan asuransi. Dalam pemisahan kekayaan Negara yang kemudian menjadi modal awal LPS, terjadi suatu transformasi hukum keuangan Negara menjadi keuangan/kekayaan LPS. Kemudian ketentuan Pasal 83 Ayat (2) bahwa: “Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu) dari total Simpanan pada seluruh bank, bagian surplus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam hal bahwa LPS menyetorkan PNBP kepada Negara, terjadi transformasi hukum keuangan/kekayaan LPS menjadi keuangan Negara. Proses Taransformasi ini dapat dilihat pada diagram proses transformasi keuangan Negara menjadi keuangan LPS sebagai badan hukum. Apabila dilihat dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPS dalam menjamin simpanan, dan mencari keuntungan, maka dapat dinyatakan bahwa LPS adalah suatu badan usaha yang berbentuk badan hukum, hal tersebut karena ada sebuah doktrin badan hukum yaitu“kekayaan bertujuan”, artinya kekayaan badan hukum terpisah dari pemilik dan anggotanya dengan tujuan mencari keuntungan . Pendapat lainnya dikemukakan oleh Eusebius bahwa pengertian badan hukum bisa bersifat perdata dan bisa pula bersifat publik. Dalam hukum perdata dan dilihat dari pendiriannya, ada tiga macam badan hukum, yakni : (1) Badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara); (2) Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum; dan (3) Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan). Dengan teori hukum tersebut di atas, LPS merupakan badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum. Karena pendiriannya dilakukan oleh penguasa dengan Undang-Undang No. 24/2004. Sehingga, LPS termasuk dalam badan hukum publik. Kalau berdasarkan teori-teori hukum yang berkembang di ahli hukum Jerman, suatu badan hukum yang bersifat publik, jika badan hukum itu dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, maka badan hukum tersebut dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut (wewenang). Dan berdasarkan Undang-Undang No. 24/2004, LPS diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum . Menurut Soenawar Soekowati sebagaimana dikutip oleh Eusebius, badan hukum yang didirikan dengan konstruksi hukum publik, belum tentu merupakan badan hukum publik dan juga belum tentu mempunyai wewenang publik. Sebaliknya juga, badan hukum yang didirikan oleh orang-orang swasta, dalam stelsel hukum tertentu mempunyai kewenangan publik. Jadi untuk dapat memecahkan masalah tersebut, dalam stelsel hukum Indonesia dapat digunakan kriteria, yaitu : 1. dilihat dari cara pendiriannya atau terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; 2. lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum public; 3. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik. Jika berangkat dari kriteria diatas, LPS merupakan LEMBAGA POLITIK (pemerintah atau negara) yang berstatus sebagai badan hukum, karena: (1) LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa dengan UU No. 24/2004; (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang di atur dalam UU No. 24 Tahun 2004, LPS diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 24/2004, LPS dalam melaksanakan tugasnya mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan. Pasal 1 angka 8 UU No.24/2004, Penjaminan Simpanan Nasabah Bank, yang selanjutnya disebut Penjaminan, adalah penjaminan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas simpanan nasabah bank. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh LPS tidak dimiliki oleh badan hukum publik lainnya. Dan penetapan besarnya premi itu sendiri mengikat secara publik. Hal ini semakin membuktikan, LPS adalah lembaga pemerintah/negara yang mempunyai status badan hukum publik. Jadi uang negara yang dipungut LPS adalah Uang Negara. Sehingga termasuk ruang lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertangggungjawabkan kepada negara. Menurut Erman Rajagukguk , Kekaburan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh definisi keuangan Negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan : “Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.” Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan : “Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas. Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14 Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan : “Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU BUMN.” Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam Komisi XI DPR karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 24 Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2 ayat g UU Keuangan Negara. Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam fatwanya No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006, menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian dapat diartikan Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara. Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan : 1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” Pasat 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”; 2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat; 3. Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”; Bahwa oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara; 4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara, Perusahan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persedian, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya” Selanjutnya, Pasal 12 ayat (1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan badan-badan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960; 5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berbunyi : Keuangan Negara sebaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” Dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum; 6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. D. Premi yang disetor pada LPS Permintaan yang diajukan oleh kalangan perbankan mengenai premi yang mereka bayar kepada LPS sebagai peserta program penjamin agar dikembalikan jika tidak terjadi klaim. praktik seperti ini lazim dilakukan dalam bisnis asuransi, bahkan digunakan sebagai alat marketing. Peserta asuransi akan menerima kembali sebagian premi yang dibayar apabila dalam periode pertanggungan tidak mengajukan klaim pertanggungan. apakah praktik seperti ini dapat diberlakukan pula pada LPS sebagai lembaga penjamin simpanan nasabah. Pada dasarya LPS bukanlah asuransi. Secara popular, program yang penjaminan yang dilaksanakan LPS adalah deposit insurance. Istlah deposit insurance pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1933 sewaktu mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai lembaga yang menjamin dana nasabah bank apabila bank dilikuidasi. Istilah deposit insurance masuk ke Indonesia melalui undang-undang No. 3 tahun 1986 tentang Bank Sentral dengan terjemahan asuransi deposito. Terjemahan tersebut mengalami dua kekeliruan: pertama, deposit tidak identik dengan deposito, terjemahan yang tepat untuk deposit adalah simpanan sedangkan deposito adalah salah satu bentuk simpanan selain giro dan tabungan; kedua, insurance bukan merupakan asuransi sebagaimana yang diterjemahkan dalam KUHD atau Undang-Undang No. 2 tahun 1992 tentang Peransuransian. Insuance lebih tepat diterjemahkan dengan jaminan. Deposit insurance atau jaminan simpanan adalah jaminan yang diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh penyelenggara penjaminan. Tujuan pemberian jaminan tersebut bukan semata-mata menjamin individual nasabah. Penjamin simpanan bertujuan menjaga keutuhan sistem perbankan secara keseluruhan. Kehadiran LPS. bersama-sama dengan ketentuan kehati-hatian, pengawasan dan leader of trust resort dipercaya dapat memperkuat sistem perbankan. Tujuan tersebut akan tercapai apabila lembaga penjamin simpanan tersebut dipercaya oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh besarnya cadangan dana yang dimiliki lembaga tersebut yang nantinya digunakan untuk membayar simpanan masyarakat sampai jumlah tertentu apabila bank dilikuidasi. Dengan adanya jaminan ini, maka premi yang dibayar oleh bank tidak mungkin dikembalikan karena harus dihimpun sebagai cadangan yang diperlukan apabila ada bank yang bangkrut . Dalam kaitan ini, terdapat dua cara dalam mentapkan premi, yaitu sistem flate rate dan risk-based premium. Saat ini sistem yang digunakan LPS adalah sistem flat rate . Sistem ini mengandung kelemahan karena dipercaya dapat menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan risiko dalam portofolio mereka. Pelaku pasar normalnya dihadapkan pada risk-return trade-off; keuntungan yang besar hanya dapat diperoleh dari risiko yang tinggi. Oleh sebab itu, banyak negara yang beralih dari sistem flat-rate ke sistem risk based premium. Pada tahun 1995 hanya dua Negara yang menerapkan sistem ini, pada tahun 1999 sepertiga dari 72 negara beralih ke sistem risk based premium. Penetapan premi berdasarkan risiko ini didasarkan pada teori premi variable yang dipinjam dari teori tradisional moral hazard yang mengajarkan bahwa moral hazard dapat diatasi dengan menetapkan harga premi yang berbeda bagi masing-masing bank tergantung dari risiko yang dihadapi oleh bank tersebut . Penilaian premi berdasarkan risiko yang dilakukan oleh FDIC, utamanya didasarkan kepada ukuran risiko secara ex-post. Bank yang melakukan kegiatan berisiko tinggi dikenakan premi lebih besar apabila kegiatan berisiko tinggi tersebut dapat mengakibatkan kerugian. Peralihan dari sistem flat-rate menjadi risk-based atau disebut juga risk-adjusted premium dilakukan oleh FDIC sejak tahun 1994 dengan dikeluarkannya Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act of 1991. Sistem ini mendasarkan perhitungan risiko pada: (1) kemungkinan kerugian yang ditanggung oleh dana asuransi dengan mempertimbangkan risiko yang diakibatkan oleh kategori dan konsentrasi yang berbeda dari kekayaan (asset) dan kewajiban (liabilities) dan faktor lain berdasarkan kewenangan FDIC; (2) kemungkinan jumlah kerugian apabila terjadi; dan (3) kebutuhan dana bagi lembaga penjamin simpanan (revenue needs of deposit insurance fund). Faktor lain yang dapat dipertimbangkan adalah risiko suku bunga, risiko kredit, risiko operasional, risiko penipuan atau kejahatan orang dalam (insider abuse). Penilaian tingkat kesehatan yang menggunakan sistem CAMEL dalam mengukur risiko yang dihadapi bank ditolak oleh FDIC. CAMEL digunakan oleh pengawas bank dalam menilai kualitas modal (capital), aset (asset quality), manajemen (management), pendapatan (earnings) dan likuiditas (liquidity) . Menurut FDIC sistem ini terlalu mahal untuk diterapkan karena (1) dibutuhkan pemeriksaan tahunan; (2) terlalu bergantung pada subjektifitas penilai; dan (3) keterkaitan antara peringkat CAMEL dengan premi dapat menciptakan hubungan yang tidak baik antara pengawas dan bank yang dapat merusak kepercayaan terdapat peringkat tersebut . Sistem pengawasan berdasarkan risiko (risk-based supervision) sebagai penyempurnaan sistem CAMEL yang mulai diterapkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan bank, kiranya dapat membantu mekanisme penetapan premi asurasi simpanan. Sistem pengawasan ini dibentuk mengingat semakin beragamnya produk yang ditawarkan bank. Produk yang ditawarkan tersebut tidak siap ditangkap dalam faktor-faktor yang dinilai melalui sistem CAMEL. Berdasar risk-base supervision risiko yang dinilai diperluas yang meliputi faktor modal (capital), kualitas aset (asset qualities), risiko pasar (market risk), pendapatan (earnings), kewajiban (liabilities), bisnis (business), pengendalian intern (control), organisasi (organization) dan manajemen (management). Namun demikian, sistem premi berdasarkan risiko hanya dapat diimplementasikan apabila sistem pengawasan dan laporan yang disusun bank telah dapat dipercaya. Sebelum hal tersebut dapat dicapai sebaiknya sistem flat-rate yang diterapkan. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya ketidak adilan dalam menetapkan premi yang disebabkan karena masih lemahnya sistem penilaian risiko yang dilakukan . Apabila LPS telah menggunakan risk base premium, maka permintaan perbankan syariah dapat dipenuhi dalam artian bank syariah yang sehat membayar premi lebih rendah dibandingkan bank syariah yang tidak sehat. Di Amerika Serikat bank sehat tidak diwajibkan membayar premi kepada FDIC karena jumlah dana yang dihimpun FDIC dianggap sudah cukup untuk menjamin simpanan masyarakat pada idustri perbankan. Praktik seperti ini tidak dimungkinkan di Indonesia karena tidak dibolehkan oleh UU LPS meski dana yang dihimpun LPS sudah cukup . E. Kesimpulan Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sebagai lembaga penjamin dana nasabah perbankan, memang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembalikan kepercayaan nasabah terhadap industry perbankan. Membangun sebuah kepercayaan merupakan suatu hal yang tidak mudah. Kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh apabila bank dapat membuktikan dirinya sebagai bank yang sehat melalui kemampuan ganda yang dimilikinya, yaitu sebagai penyedia likuiditas dan penyandang dana bagi penyediaan aset jangka panjang. Eksistensi dan efektifitas LPS harus dimunculkan kepermukaan, agar kepercayaan yang selama ini memudar dari para masyarakat (nasabah) kepada industry perbankan kembali menguat. Dengan demikian industri perbankan dapat menjadi central of economic dan alat stabilitas moneter dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.

Minggu, 29 November 2009

KONSEP, OPERASIONALISASI, DAN PROSPEK PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA

1. Pendahuluan.
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga. Hampir semua
perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah
dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain
sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak –
mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju
dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara
berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.
Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak
melihat sistem bunga sebagai biang keladinya . Karena luput dari pengamatan,Pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga
yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.
Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara –
negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan
peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar
menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para
pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu
kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya
para penyandang gelar ekonomi lemah (PEGEL) korban sistem bunga lebih
merasakannya sebagai belas kasihan dari pada hak. Dan pemasaran tapi sayangnya
sistem bunga yang berlaku secara otomatis menjaga jarak tetap diantara keduanya.
Namun di Indonesia, kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia,
Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah
berdasarkan sistem bagi hasil.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu
mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah,
asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham,
menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan
sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk
berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal
ventura, leasing, dan pegadaian.
1 Disajikan dalam rangka Dialog Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perbankan
Syariah (PSPS) STIE “SBI” Yogyakarta, tanggal 25 Agustus 1997.
Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana
syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan
demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap
berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.
2. Konsep lembaga gadai syariah.
Walaupun cikal bakal lembaga gadai berasal dari Italia yang kemudian berkembang
keseluruh dataran Eropa, perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam.
Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan
sesuatu barang sebagai tanggungan hutang.
Dasar hukum rahn adalah Al Qur’an, khususnya surat Al – Baqarah ayat 282 yang
mengajarkan agar perjanjian hutang – piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi –
saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang2
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 282 :
“ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ... Dan
persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang – orang lelaki diantaramu. Jika tak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi –
s aks i yang kamu r idhai , supaya j ika seorang lupa maka seorang l agi
mengiangatkanya. ... “
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). ... “
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi
Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang
diutang dengan jaminan berupa baju besinya.3
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
maggadaikan kepadanya baju besi beliau “.
Dasar hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh)
perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi – segi teknis, seperti ketentuan
2 Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al
Mush – haf – asy – Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H, halaman 70 –71.
3 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, PT. Al – Ma’rif, Bandung, 1988, halaman 140.
tentang siapa yang harus menaggung biaya pemeliharaan selama marhun berada
ditangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb., adalah merupakan ijtihad yang
dilakukan para fukaha.
Unsur – unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut “ rahin
“, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang
digadaikan disebut “ marhun “. Juga merupakan unsur rahn adalah sighat akad.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4
sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.
Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga
dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan
barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga
atau mengandung unsur riba.
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam
Kifayatul Akhyar5bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan menurut
syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian
gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing – masing pihak
dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan
Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti
perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
4 H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994, halaman 115-116,
5 H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan Ringkas FIQIH
ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 143.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah
menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam
batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan
yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari
murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang
akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman
sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan
hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang
yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima
pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang,
sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang
rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya
dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban
membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah
menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh. Dasar
hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang
didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al –
Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah Bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul
bebannya (beban pemeliharaannya)"6
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan
untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu
berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :
Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :
“Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu
yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang
menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)7
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak,
sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban
rahin melunasi hutangnya 8. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil
langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat
dilakukan penyelesaian yang adil.
6 Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989,
halaman 156.
7 Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, terjemahan Anshori Umar
Sitanggal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1985, halaman 180.
8 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 143
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah
perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan
menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :
“ Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia
tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “ 9.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan
tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat
memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan
kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup
kekurangannya10.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,
maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil
penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih
dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup
kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi
hutang almarhum pemilik barang1 1.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai
sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara
individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut
Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana
bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan
sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih
qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal)
sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah12
.
Didalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam
menanggung biaya yang secara nyata terjadi se[perti biata penyimpanan dll., dan
dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo
tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian
hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan
mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi
bagihasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
9 Opcit, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, halaman 180.
10 Opcit,Masail Fiqhiyah, halaman 156.
11 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 144.
12 Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits
Pilihan tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia, Jakarta, 1996, halaman 179-184.
Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang
miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding)
yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau
memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai
syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada
lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang
piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian
berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan
suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut
berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah
pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum
gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi
keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi
hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi
jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan
pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak
berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang
tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan
dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan,
aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
3. Operasionalisasi Lembaga Gadai Syariah.
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah
untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian
hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara
syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya
adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi
perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok
pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian
hutang. Dalam hal ini biaya – biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban
peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan
prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang
secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat dianjurkan
dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam
dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlukan
dalam kasus – kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan
demikian al – Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq13. Tanggung jawab
ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai kepada negara.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal
perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan gadai
yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa
sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai
sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan atau
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.
Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul
hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba
membuka usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk
qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian
hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang
terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu samalain
secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan
dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama
dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila
terjadi perbedan pendapat, maka p3erbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui
arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte
notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya
pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau
ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan14.
b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam
bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan
13 Ibid, Ajaran Nabi Muhammad saw tentang Ekonomi, halaman 182-183
14 Mengambil keuntungan pada jual beli uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah atau mengenakan
sewa atas modal uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah sering dipergunakan untuk menutupi kata
bunga.
dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang
dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara
pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan
pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha. Kedua pihak
kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi
pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu
dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu
dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan
apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat
diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi
perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau
pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata –
nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya
akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan
pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat
penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang
apapun namanya juga dilarang dikenakan15.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), dll.
Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi,
lebaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua
bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai
syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada
perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif
yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak
diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun
menurut berita dalam praktek banyak bank – bank terutama yang berkantor diwilayah
kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam
bentuk perhiasan.
Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang
khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang
bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata – mata untuk membantu
masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan
pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah
15 ibid
sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila
hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan
misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk
badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja
mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia
disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Karena gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan
hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah
berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah
ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan
seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul
hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank
yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan sistem
bunga tetapi dengan sistem bagihasil.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk
perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan
yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini
perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek
sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
a. Aspek Legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan pemerintah no. 10 tahun 1990 tentang
pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum
(PERUM) Pegadaian16, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah
badan usaha tunggal yang diberi wewenang unutk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada
pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba 17, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan, yaitu :
(1).Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman.
Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan, umat Islam
mempunyai pilihan kedua;
(2).Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a. Dengan usul yang kedua
ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam
bentuk perusahaan yag dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
16 Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta, 16 Juni 1993, halaman 96-97.
17 Pengertian riba pada makalah ini menganut pengertian yang sama dengan pengertian yang menjadi latar
belakang berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia. Termasuk bunga bank dan bunga obligasi dalam
pengertian ini adalah riba.
Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima pilihan pertama,
karena akan lebih mudah bagi umat Islam untuk mewujudkan keinginannya. Penyesuaian
untuk betul-betul menjadikan Perum Pegadaian perusahaan gadai yang sesuai dengan
misinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk operasional
barangkali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan luar negeri.
Pinjaman obligasi dari masyarakat mungkin juga bisa dibuatkan model yang sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
Namun andaikata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli Perum Pegadaian
karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai syariah yang diharapkan dapat
diberi izin berdiri tentunya adalah perusahaan yang persyaratan modalnya cukup besar.
Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru boleh membuka
cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari instansi yang berwenang. Masyarakat
tentunya tidak menghendaki terlalu banyaknya perusahaan gadai kecil-kecil milik keluarga
seperti buka warung, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak
yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena dalam ketentuan
syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui sistem bagihasil mudharabah, bentuk
yang paling cocok untuk suatu perusahaan gadai syariah adalah Perseroan Terbatas.
b. Aspek Permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan
yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting lainnya yang
perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup
besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan
investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.
Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan
terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan
yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada
kemungkinan pemegang saham perusahaan gadai syariah melebihi jumlah minimum
sehingga perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik.
c. Aspek Sumber Daya Manusia
Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap
apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta oleh
pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah
pinjaman tidaklah mudah. Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai
sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat
mejadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini
nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat.
Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat
menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai.
Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu
mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan ketrampilannya.
Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penaksir barang, pada
perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis kelayakan usaha yang andal untuk
menilai usaha yang diajukan pada perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk
mudharabah. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan
gadai syariah untuk memperoleh bagihasil yang memadai. Unutk juru taksir, pada tahap
awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum Pegadaian.
Kemudian unutk para analis kelayakan usaha diperlukan tenaga-tenaga sarjana yang
berpengalamanminimal 2 taun. Calon-calon manajerpun perlu sipersiapkan untuk
pimpinan pusat maupun cabang.
d. Aspek Kelembagaan
Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat
diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak meyimpang dari prinsip
syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai
kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba.
Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang
tidak dilarang dalam agama Islam.
Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan
adana suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut Dewan Pengawas Syariah yang
selalu memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai
syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh
masyarakat setempat.
e. Aspek Sistem dan Prosedur
Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi
haraus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh karena
itu sistem dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meyulitkan calon
nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai dalam
bentuk al-qardhul hassan maupun hutang-piutang gadai dalam bentuk almudharabah.
Loket-loket dipisahkan antara yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-qardhul hassan dan yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-mudharabah, namun harus dibuat fleksibel sedemikian rupa sehingga
terhindar adanya antrian panjang. Biasanya mereka yang ingin memasuki perjanjian
hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah adalah peminjam dalam jumlah besar.
f. Aspek Pengawasan
Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena
dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha
Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan yang
disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah merupakan pelaksanaan amanah.
Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada
Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat
mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Termasuk dalam
organ pengawasan adalah Dewan Pengawasan Syariah yang terdiri dari para ulama yang
cukup dikenal masyarakat.
4. Prospek Pegadaian Syariah
Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah
maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai
persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi18 (minimum dua
kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk
mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan
aman.
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut
SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya
(Oportunity), dan ancamannya (Threat) , sebagai berikut:
a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.
(1).Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia,
bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan
besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.
(2).Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam
adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan
terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri
Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di
Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic
Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974
dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of
Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga
keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di
negara-negara anggotanya19. Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah
datang ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan
syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan
lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di
Indonesia.
(3).Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan
sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah
jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin
tingginya tingkat bunga.
18 Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi
juga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dengan agunan polis.
19 Agreement Establishing the Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing Press, Jeddah, 12
Agustus 1994, hal. 6.
(b). Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara
pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi
keuntungan / kerugian secara adil.
(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan
membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar
jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai
dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau
keuntungan usahanya kecil dan bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.
(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung
kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya
bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh
gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan
operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.
Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk
terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.
b. Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.
(1).Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang
yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang
karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad
tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah ang diberikan dengan sistem bagihasil
akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya. Bisa saja
terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian
tidak memperoleh bagian laba.
(2).Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung
biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan
demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan
kecermatan yang lebih besar.
(3).Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak
memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai
kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagihasil mungkin akan
membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara
konvensional yang hasl pendapatannya sudah tetap dari bunga.
(4).Karena pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan
disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan
dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi
pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku,
tremasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.
Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua
untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk
tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang
membentuk peluang-peluang dibawah ini :
(1). Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama
(a).Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya
yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima
dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena
riba dalam agama Islam jelas -jelas dilarang maka masih banyak masyarakat
Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.
(b).Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di
sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondokpondok
pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan
sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
(c). Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang
berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan
dengan syariah Islam, yaitu antara lain :
· Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena
seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan
sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu
yang telah ditetapkan (periksa surat Luqman ayat 34).
· Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan
unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan
berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda (periksa surat
Al-Imron ayat 130).
· Memperdagangkan / menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah
dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh
keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba
(periksa terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.
1551 s/d 1567).
· Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang
dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya
harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena
ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah
Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no. 1569 s/d 1572)
Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut
diataslah yng ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.
(2). Adanya peluang ekonomi dabi berkembangnya pegadaian syariah
(a). Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya
diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut
diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan
dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri
diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya
semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
(b).Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan
masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan
peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi
mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang
tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman
mudharabah.
(c).Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di
Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga
keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di
Timur Tengah.
(d).Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan
perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha
dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada
perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan
kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah
adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dnegan
sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di
Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum
yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup
besar.
d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian
syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang
akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena
tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak
mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas -jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa
pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara
mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah. Ancaman
berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk
kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalaui
sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan
pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap
status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan
dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk
mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian syariah.
Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini
maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga -jaga dan mengupayakan
penangkalnya.
Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah
mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan
lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan
ancaman (threat) dapat diatasi.
5. Kesimpulan
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya
oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya
akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan
pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang
antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah
merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah
al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat
dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua
pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau
penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi
gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku
(hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional
karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.
h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan
agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
i. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai
perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
j. Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan PP no. 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk
Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan
usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai.
k. Misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada pasal 5 ayat (2)b yaitu
pencegahan ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi Perum Pegadaian
tersebut maka umat Islam mempunyai dua pilihan yaitu :
(3). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan
pinjaman.
(4). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a.
l. Dengan analisa SWOT dapat disimpulkan bahwa prospek pegadaian syariah adalah
sangat cerah, baik itu untuk Perum Pegadaian yang telah menerapkan sistem syariah
maupun untuk pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila
kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat)
dapat diatasi.
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramin asy Syarifain al Malik
Fahd li thiba’at al Mush-haf-asy-Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H.
Agreement Establishing The Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing
Press, Jeddah, 12 Agustus 1994.
Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta 16 Juni 1993.
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi
(Kumpulan Hadits-hadits Pilihan Tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia,
Jakarta, 1996.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam,
terjemahan Anshori Umar Sitangal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam,
Al-Ma’arif, Bandung, 1985.
Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1989.
H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan
Ringkas FIQIH ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1988.

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

A. PENGERTIAN STUDI HUKUM KRITIS (CRITICAL LEGAL STUDIES)

Pengertian Studi Hukum Kritis, antara lain dapat kita temukan di dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School. Di dalamnya, antara lain disebutkan:

“Critical Legal Studies (CLS) is a theory that challenges and overturns accepted norms and standards in legal theory and practice. Proponents of this theory believe that logic and structure attributed to the law grow out of the power relationship of the society. The law exists to support the interests of the party or class that forms it and is merely a collection of beliefs and prejudices that legitimize the injustice of society. The wealthy and the powerful use the law as an instrument for oppression in order to maintain their place in hierarchy”

Dari definisi di atas maka dapat dinyatakan bahwa Studi Hukum Kritis adalah teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standard-standard di dalam teori dan praktek yang selama ini telah diterima. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis, Studi Hukum Kritis ialah, suatu penentangan terhadap norma yang dapat menekankan hukum kepada masyarakat, sebab memang nanti pada sub bab selanjutnya dalam sejarah munculnya Studi Hukum Kritis ini muncul pada saat kultur politik yang radikal. Ketika munculnya Studi Hukum Kritis ini maka barulah penolakan-penolakan dan perlawanan-perlawanan terjadi kepada norma-norma yang sebelumnya telah diterima oleh masyarakat

B. SEPUTAR MUNCULNYA GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Gerakan Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahi karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis, dan di beberaoa negara lain. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.

Pada konfrensi Critical Legal Studies tahun 1974 tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in book) dengan hukum dalam prektek (law in action), dan kegagalan hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konfrensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan para ahli hukum sebagai berikut:

• Abel
• Heller
• Horwitz
• Kennedy
• Macaulay
• Rosenblatt
• Trubek
• Tushnet
• Unger

Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam decade 1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan tetapi, dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan Critical Legal Studies juga mengakui keterbatasan dari pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black latter law tersebut.

C. LEGAL REALISME SEBAGAI AKAR STUDI HUKUM KRITIS (CLS)

Dalam membahas tentang studi hukum kritis, oleh Milovanovic seperti yang dikutip oleh Adji Sumekto menuliskan:

“Critical Legal Studies (CLS) was an outgrowth of the critical development of Realism”

Tulisan tersebut menunjukan bahwa studi hukum kritis berakar pada Legal Realism sebagai salah satu aliran yang muncul dalam teori hukum.

Surya Prakash Sinha, menuliskan:
“The philosophical mooring of the (CLS) movement are found in the Critical Theory of the Frankfrut School … an the American Legal Realism.”
Oleh karena itu, bisa dipahami apabila, James Boyle, dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Reason: Critical Legal Theori and Local Social Thought menuliskan

“it is a commonplace that to understand critical legal thought one must first understand legal realism.”

Di dalam tilisan yang berjudul “Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School”, dinyatakan:

“... legal realist rebelled against accepted legal theories of the day and urged more attention to the social context of the law”

Pernyataan ini didukung dengan jelas menunjukkan bahwa ajaran Legal realism bermaksud untuk menentang teori-teori hukum yang pada waktu itu twlh diterima benar adanya sebagaimana dinyatakan oleh Calvin Woodward sebagaimana yang dikutip oleh Adji Sumekto:

“the Teaching of ‘Legal Realist’ of the new deal era, attacked the most sacred precepts of our legal system-that general legal principle (the common law) are embodied in judicial opinions, that by legal analysis the correct or dispositive legal principle can be discovered and that judge apply thos principles dispassionately, free of political bias and personal prejudice… ”

Jadi, Menurut pendapat di atas, ajaran-ajaran dalam legal realisme dimaksud untuk menentang ajaran hukum yang telah dianggap benar yang menganggap bahwa melalui analisis hukum, prinsip-prinsip hukum yang benar dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip hukum yang termuat dalam judicial opinions, di mana hakim menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara tidak memihak (dispassionately), bebas dari bias politik dan penilaian pribadi.

Berdasarkan hal itulah maka legal realism mendorong dilakukannya perhatian yang lebih besar untuk melihat hukum dalam konteks sosial. Oleh karena itu, dasar pijakan analisi dalam ajaran legal realism tetap pada norma atau hukum (positif) yang berlaku, tetapi harus dikembangkan dengan menyertakan faktor ¬extra – legal berupa fakta sosial atau pengalaman hidup, sebagai masukan dalam upaya berfikir yang lebih realistic untuk memfungsikan hukum (positif) tersebut. Dari sinilah hukum tidak lagi dilihat sebagai sarana kontrol sosial, tetapi juga harus digunakan sebgai sarana rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Faktor-faktor extra – legal itu jelas berada di luar wilayah doktrin-doktrin atau norma-norma hukum, sehingga penelitian dan studi-studinya harus memasuki kajian nondoktrinal.

D. KONSEP CRITICAL LEGAL STUDIES

Dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview tersebut dinyatakan:

“… The basic idea of CLS is that the law is politic an it is not neutral or value free. Many in CLS movement wanto to overturn the hierarchical structures of domination in the modern society and many of them have focused on the law as a tool in achieving this goal”

Dengan demikian ide dasar dari Studi Hukum Kritis adalah pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, dalam pandangan Studi Hukum Kritis, hukum di dalam pembuatan, hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, sekalipun dalam liberal legal order dibentuk keyakinan akan kenetralan, objektivitas, dan prediktabilitas dalam hukum.

Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial praktis.

Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Di samping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran studi hukum krutis mengajukan pandanganya sebagai berikut:

1. Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah, yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum netral.

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut Studi Hukum Kritis percaya, bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru “pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif.” Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah “pemikiran yang rasional”. Akan tetapi. Menurut penganut Studi Hukum Kritis, pemikiran rasional itu merupakan cipataan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun verifikasi empiris.

4. Hukum tidak netral
Para penganut Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura, atau percaya secara naïf bahwa dia mengambil putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal, mereka selalu bisa dan selalu dipengaruhi oleh ideologi, legitimasi, dan mistifikasi yang dianutnya untuk memperkuat kelas dominan.

Jadi, pada dasarnya tujuan dari Studi Hukum Kritis adalah untuk menghilangkan halangan atau kendala-kendala yang dialami individu-individu yang berasal dari struktur sosial dan kelas (dalam masyarakat). Dengan hilangnya kendala-kendala itu diharapkan individu-individu itu dapat memberdayakan diri untuk mengembangkan pengertian baru tentang keberadaannya serta dapat secara bebas mengekspresikan pendapatnya.